Sambeyang Rame : Merawat Kekayaan Arsitektur Tradisional Sumatra Selatan
Sumatra Selatan memiliki ragam kekayaan arsitektur tradisional yang tersebar pada daerah hulu dan hilir.
Ghumah Baghi merupakan salah satu hasil kebudayaan Suku Besemah yang mendiami daerah sekitar Gunung Dempo, Kota Pagaralam dan menyebar ke sekitar Kabupaten Lahat. Rumah dengan karakter yang sama juga ditemukan di Kabupaten Muara Enim. Ghumah Baghi memiliki beberapa tipe dan pembagian seperti berdasarkan tingkat ekonomi pemilik rumah, yakni Rumah Tatahan, Rumah Gilapan, Rumah Padu Kingking (Tingking), dan Rumah Padu Ampar (Ampagh).
Selain Ghumah Baghi, terdapat Lamban Ulu Ogan yang merupakan salah satu ragam dari rumah uluan di wilayah Sumatra Selatan.
Rumah ini juga merupakan salah satu produk kebudayaan Suku Ogan yang tersebar di sepanjang Sungai Ogan di Desa Mendale, Peninjauwan, dan Saung Naga.
Lamban Ulu Ogan merupakan rumah tradisional dengan material batu, genteng tanah liat, kayu, dan bambu. Batu digunakan sebagai “pondasi”; kayu digunakan mulai dari tiang dan balok kolong, rangka dan penutup lantai, rangka dan penutup dinding, bukaan, rangka dan penutup plafon, dan rangka atap; bambu digunakan pada rangka lantai; dan genteng tanah liat sebagai penutup atap.
Sementara pada Suku Ranau yang mendiami daerah sekitar Danau Ranau, terdapat rumah tradisional yang dikenal sebagai Lamban Tuha adalah rumah tradisional Suku Ranau. Saat ini, jumlah rumah tradisional ini sangat minim, hanya berjumlah 3 (tiga) rumah.
Salah satu Lamban Tuha adalah milik keturunan “puyang” yang sudah dihuni oleh 11 (sebelas) generasi. Rumah ini mampu bertahan dari bencana gempa bumi besar pada tahun 1933.
Sumatra Selatan juga memiliki Lamban Cara Ulu yang merupakan rumah tradisional Suku Komering. Rumah ini tersebar di sepanjang Sungai Komering. Salah satu desa dengan jumlah Lamban Cara Ulu yang banyak adalah Desa Minanga, Kecamatan Semendawai Barat I, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur.
Rumah ini terdiri dari bagian kolong yang merupakan bagian rumah berbentuk panggung dengan ketinggian antara 170-200 cm. Bagian ini digunakan untuk gudang bahan bakar kayu dan kandang hewan ternak.
Selain itu, terdapat bagian tengah sebagai wadah hunian, yang merupakan bagian yang berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian antara 270-300 cm.
Sementata di bagian atas, terdapat atau yang berbentuk limas segi empat dengan ketinggian antara 400-550 cm. Pemanfaatan bagian ini adalah tempat penyimpanan pusaka, masakan saat upacara, dan gudang peralatan.
Mewakili zaman
Kekayaan arsitektur tradisional juga dapat dilihat pada daerah Musi Banyuasin. Musi Banyuasin memiliki cagar budaya berupa Rumah Putih Pintu Gribik, Rumah Batu, dan Rumah Panggung dalam satu kompleks yang sama di Desa Ngulak. Rumah ini merupakan simbol perpaduan arsitektur lintas zaman di Sumatra Selatan.
Rumah pertama di kompleks ini dikenal dengan sebutan Rumah Putih yang terletak di sisi paling kiri dari deretan tiga rumah milik Pangeran H. Anang Mahidin.
Rumah ini merupakan bangunan tertua di antara ketiganya yang di bangun oleh Pangeran H. Umar. Rumah ini di bangun pada tahun 1883 sejak masa pemerintahan Pangeran M. Umar dan telah berusia 142 tahun.
Selain itu, terdapat juga Rumah Batu. Rumah Batu merupakan bangunan utama dalam kompleks ini dan menjadi kediaman pribadi Pangeran H. Anang Mahidin.
| Unsri dan BRIN Teken Kerja Sama Distribusi Informasi Riset dan Inovasi |
|
|---|
| Kontes Literasi Bahasa ke-X FKIP Unsri Jadi Wujud Transformasi Literasi di Era Digital |
|
|---|
| Fakultas Hukum Unsri Launching 65 Buku Ilmu Hukum di Dies Natalis ke-65, Bakal dapat Rekor MURI |
|
|---|
| Pakai Jilbab, Pemuda Nyamar Jadi Wanita Demi Masuk Asrama Mahasiswi Unsri, Terciduk Satpam & Viral |
|
|---|
| Penyelidikan Perundungan Maba Unsri Rampung, Nasib Pelaku Tunggu Hasil Pleno Rekomendasi ke Rektor |
|
|---|
