Mata Lokal Desa

Ruwatan Bumi di Karang Binangun OKU Timur, Lestarikan Budaya Leluhur dan Pererat Persaudaraan

Pemerintah Desa Karang Binangun menggelar Ruwatan Bumi yang menyatukan dimensi spiritual, sosial, dan historis masyarakat desa.

TRIBUNSUMSEL.COM/CHOIRUL ROHMAN
RUWATAN BUMI -- Gunungan hasil bumi berdiri megah di tengah panggung, menjadi simbol syukur dan harapan warga Desa Karang Binangun dalam gelaran Ruwatan Bumi, Rabu malam (16/7/2025). Tradisi ini dirayakan setiap tahun untuk memohon keselamatan dan mempererat ikatan budaya antarwarga. 

TRIBUNSUMSEL.COM, MARTAPURA -- Pada Rabu malam, 16 Juli 2025, Desa Karang Binangun, Kabupaten OKU Timur, Sumsel seolah berubah menjadi panggung besar bagi sejarah dan harapan.

Di bawah naungan tenda putih yang dihiasi untaian bunga, warga duduk bersisian, menyaksikan gelaran wayang kulit yang tak hanya menghibur, tapi juga memanggil ingatan akan leluhur.

Semilir angin membawa aroma kemenyan dan tanah basah, menyatu dengan irama gamelan dan suara Ki Dalang Bagus Miturut yang memecah malam.

Malam itu. Pemerintah Desa Karang Binangun menggelar Ruwatan Bumi, tradisi tahunan yang bukan sekadar seremoni, tetapi ritual kebudayaan yang menyatukan dimensi spiritual, sosial, dan historis masyarakat desa.

Dalam bayang cahaya remang, tokoh-tokoh pewayangan hidup kembali, menyampaikan pesan moral yang terus relevan dari generasi ke generasi.

Di tengah panggung, tiga gunungan hasil bumi menjulang megah. Disusun dari jagung, pisang, ketela, dan aneka buah. 

Serta sayur, gunungan itu bukan sekadar dekorasi, melainkan lambang syukur atas panen dan berkah hidup.

Di sudut lain, deretan keris pusaka bagian dari Gelar Pusaka Tosan Aji terpapar anggun.

Masing-masing menyimpan kisah, simbol perjuangan, dan filosofi kehidupan.

Tamrin Andriyansyah, S.Kom, Kepala Desa Karang Binangun, menyampaikan bahwa Ruwatan Bumi adalah ruang untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rezeki dan keselamatan.

“Pagelaran ini bukan sekadar hiburan, tapi bentuk doa kolektif kami. Kami ingin terus melestarikan budaya leluhur dan mempererat persaudaraan antarwarga,” ujar Tamrin, Kamis (17/07/2025).

Makna spiritual inilah yang menjadikan tradisi ini tak lekang oleh waktu. Bukan hanya nostalgia, melainkan perlawanan halus terhadap derasnya arus modernisasi yang kadang membuat manusia lupa asal usulnya.

Keris, Gunungan, dan Gamelan, Bahasa Sunyi dari Masa Silam

Salah satu yang paling menyita perhatian adalah pameran keris pusaka. Dalam senyap, masing-masing bilah tampak bercerita tentang keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan.

Seorang juru pelestari keris menjelaskan, setiap lekukan dan pamor di bilah keris memiliki filosofi dari spiritualitas hingga strategi hidup.

Sementara itu, di panggung utama, gamelan berdentang pelan, mengiringi tokoh pewayangan yang menari dan berdialog.

Anak-anak duduk di pangkuan orang tuanya, matanya tak berkedip, menyerap kisah dari dunia yang barangkali baru pertama kali mereka saksikan secara langsung.

Tradisi yang dirawat dengan sepenuh hati ini juga mendapat apresiasi dari para tokoh daerah. Wakimin, S.Pd., M.M., Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan OKU Timur, menyebut acara ini sebagai contoh bagaimana budaya bisa menjadi media pendidikan karakter.

“Ini adalah contoh nyata bagaimana masyarakat menjaga jati diri budaya lokal di tengah arus perubahan. Harus terus dikembangkan,” ujarnya dalam sambutan.

Hadir pula Anggota DPRD OKU Timur, Beni Dafitson, serta para kepala desa sekitar, Camat Belitang Madang Raya, dan perwakilan dari Polsek Madang Suku I. 

Kehadiran para pemangku kepentingan ini seolah menjadi penegas bahwa budaya bukan hanya urusan masa lalu, tapi bagian dari strategi masa depan.

Bagi Dwintoro, tokoh masyarakat yang telah puluhan tahun tinggal di Karang Binangun, acara ini lebih dari sekadar perayaan.

“Ini momen yang kami tunggu-tunggu setiap tahun. Rasanya seperti pulang. Semua warga berkumpul, saling menyapa, mengenang, dan mendoakan. Budaya ini adalah akar kita," pungkasnya. 

Acara berakhir larut malam, namun semangat yang tumbuh dari panggung sederhana itu seolah terus menyala. 

Masyarakat pulang dengan hati hangat, membawa pulang bukan hanya kenangan, tapi juga keyakinan bahwa budaya bukan sekadar tontonan ia adalah nafas kehidupan.

Ruwatan Bumi di Karang Binangun bukan hanya agenda tahunan desa, tetapi refleksi mendalam tentang bagaimana masyarakat memelihara warisan, memaknai spiritualitas, dan membangun ketahanan identitas dalam dunia yang terus bergerak cepat.

Tradisi ini, dengan segala kesederhanaannya, justru menjadi penanda betapa budaya memiliki daya hidup yang luar biasa kuat selama masih ada yang merawatnya.
 
 

 

Baca artikel menarik lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung di saluran WhatsApp Tribunsumsel

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved