Sengketa 4 Pulau Aceh Sumut

Awal Mula Munculnya Polemik Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut hingga Prabowo Turun Tangan

Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal Zakaria Ali menjelaskan duduk perkara sengketa

|
Editor: Weni Wahyuny
Sumber: Dok. Kemendagri
SENGKETA 4PULAU - Peta empat pulau yang dulu dikuasai Aceh yang kini masuk wilayah Sumatra Utara. 

TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Sengketa empat pulau di Sumatera Utara-Aceh belakangan jadi sorotan.

Empat pulau tersebut adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang/Besar, dan Pulau Mangkir Ketek/Kecil.

Awal mula polemik ini mencuat usai status administratif empat pulau tersebut diputuskan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dengan surat Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Dalam keputusan itu, Kemendagri menetapkan status administratif empat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara (Sumut).

Namun, keputusan masuknya empat pulau tersebut ke wilayah Sumut mendapatkan reaksi beragam dari berbagai pihak hingga Kemendagri memutuskan untuk mengkaji ulang keputusan. 

Lantas, bagaimana uraian polemik empat pulau yang menyita perhatian publik ini? 

Kemendagri Jelaskan Duduk Perkara Sengketa Empat Pulau 

Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal Zakaria Ali menjelaskan duduk perkara sengketa empat pulau Aceh- Sumut. 

Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers yang dilakukan di Kantor Kemendagri, Rabu (11/6) pekan lalu.

Ia memaparkan awal mulanya dari verifikasi yang dilakukan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. 

"Tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi mengidentifikasi dan memverifikasi seluruh pulau-pulau yang ada di Indonesia, termasuk di Aceh dan Sumatra Utara," kata Safrizal, dikutip dari Breaking News KompasTV. 

Empat pulau, yakni Pulau Mangkir Gadang/Besar, Mangkir Ketek/Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang termasuk dalam verifikasi Sumut dan dikonfirmasi Gubernur Sumut pada 2009.

Namun, keempatnya tidak tercatat dalam verifikasi Aceh, yang dikonfirmasi Gubernur Aceh tahun yang sama. 

Safrizal mengungkapkan, pada lampiran surat Gubernur Aceh, terdapat perubahan nama empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar semula bernama Pulau Rangit Besar, Pulau Mangkir Kecil yang semula Rangit Kecil, dan Pulau Lipan semula Pulau Malelo.

"Jadi setelah konfirmasi 2008, di 2009 dikonfirmasi terjadi perubahan nama dan perpindahan koordinat," ujarnya. 

Safrizal lantas mengungkapkan, Surat Mendagri tahun 2018 perihal tanggapan surat Gubernur Sumut menyatakan, pada sidang PBB di New York tahun 2012, empat pulau tersebut sudah dimasukkan menjadi bagian Sumut. 

Perda Sumatra Utara Nomor 4 tahun 2019 sudah memasukkan empat pulau ke dalam zonasinya.

Ia juga mengatakan, Kepmendagri Nomor 050-145 tahun 2022 sudah memasukkan empat pulau tersebut ke dalam wilayah administrasi Sumatra Utara.

Terhadap persoalan ini, terakhir pada 2020-2021, tim pusat bersidang dan memutuskan dalam Kepmendagri pada tahun 2022, empat pulau diputuskan menjadi wilayah Sumut. 

"Kepmendagri 2022 itu kemudian diulang dengan Kepmendagri yang dikeluarkan pada April 2025 dengan isi yang sama," kata Safrizal. 

Ia mengungkap, sempat ada keberatan dari Gubernur Aceh tahun 2022, tetapi setelah proses panjang dan rapat berkali-kali, tetap tidak menemukan keputusan yang disepakati kedua pihak.

Akhirnya, disepakati keputusan diserahkan ke pemerintah, dalam hal ini adalah Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.

Lantas, berdasarkan surat Mendagri, konfirmasi Gubernur Aceh dan Sumut, serta pelaporan pada PBB tahun 2012, maka pemerintah pusat memutuskan memasukkan empat pulau ke dalam wilayah Sumut.

Dalam kesempatan itu, Safrizal menyatakan Kemendagri terbuka apabila keputusan terhadap sengketa empat Pulau Aceh-Sumut akan diuji di pengadilan.

"Kami terbuka untuk diuji, misalnya di pengadilan, kami open mind (berpikir terbuka) ya," katanya. 

Ia mengatakan, apabila keputusan berubah nantinya terhadap empat pulau tersebut, Kemendagri juga tidak segan melakukan perubahan. 

"Kalau nanti diputuskan misalnya oleh pengadilan bahwa itu Aceh, kami akan ubah kodenya menjadi wilayah Aceh," ujarnya. 

Gubernur Sumut: Terbuka Membahas, Ajak Kelola Bersama 

Gubernur Sumatra Utara (Sumut) Bobby Afif Nasution menyatakan keterbukaannya untuk membahas masalah ini bersama-sama. 

"Kalau kita mau bahas, ayo sama-sama. Kami terbuka kalau memang hal itu mau diulang kembali pembahasan kepemilikannya," kata Bobby di Kantor DPRD Sumut, Kamis (12/6), dikutip dari video YouTube KompasTV. 

Ia juga mengajak Aceh untuk mengelola bersama seandainya status kepemilikan empat pulau tetap milik Sumut. 

"Pun nanti ataupun sekarang status yang dimiliki oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara ataupun kalau nanti tetap dijadikan milik pemerintah provinsi Sumatera Utara, saya ngajak Provinsi Aceh untuk sama-sama mengelola," ujar Bobby. 

Gubernur Aceh: Empat Pulau Itu Hak, Kewajiban, dan Milik Kita

Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem bertekad mempertahankan empat pulau yang oleh Kemendagri dinyatakan sebagai wilayah Sumut. 

Mualem menyampaikan hal itu di Banda Aceh, Jumat (13/6) malam, seusai rapat dengan sejumlah pihak untuk membahas penyelesaian sengketa dengan Sumatera Utara soal empat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.

Rapat tersebut dihadiri antara lain DPR Aceh, Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh, Bupati Aceh Singkil, ulama hingga akademisi Aceh.

"Empat pulau itu hak kita, kewajiban kita, wajib kita pertahankan, sebagaimana  yang telah kita ketahui, pulau itu adalah milik kita, milik Aceh," kata Mualem di Banda Aceh, dikutip dari video YouTube KompasTV.

Mahasiswa Aceh Gelar Aksi Protes Keputusan Empat Pulau

Usai adanya keputusan empat pulau masuk Sumut, mahasiswa Aceh menggelar aksi. 

“Kami meminta dan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mencopot Bapak Tito Karnavian dan juga Bapak Safrizal, karena ini menjadi biang kerok atau polemik yang ada, permasalahan yang ada di Aceh,” ujar Koordinator Aksi Persatuan Mahasiswa Aceh (PMA) Gamal saat berunjuk rasa di depan Gedung Kemendagri, Jakarta Pusat, Jumat (13/6), dilansir Kompas.tv. 

Dia juga mengatakan PMA mendesak Presiden Prabowo untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Kemendagri tahun 2025 soal empat pulau tersebut.

Muzakir Manaf hingga anggota DPR dan DPD asal Aceh diminta mengawal permasalahan ini hingga tuntas.

Gamal menuturkan, pada 2008 memang ada kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumut terkait empat pulau tersebut. Namun menurutnya, dalam kesepakatan tersebut terjadi kesalahan administratif.

“Sehingga di tahun 2022 itu Kemendagri mengeluarkan SK juga. Nah, dalam artian ini pemerintahan Aceh sudah menyurati Kemendagri untuk segera merevisi, merevisi terkait dengan SK tersebut,” ucap Gamal.

“Nah, jadi ketika direvisi malah kami ditipu hari ini. Kami dikenain dengan pencaplokan empat pulau ini yang ada di Aceh Singkil, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek,” lanjutnya.

Menurut Gamal, secara teritorial, keempat pulau tersebut memang dekat dengan Sumatra Utara. Tapi, dia meminta kepada Kemendagri untuk tidak melupakan fakta dan sejarah.

“Ini adalah hak milik rakyat Aceh,” tegas Gamal.

Jusuf Kalla Buka Suara: Secara Historis Masuk Aceh

Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK) buka suara mengenai sengketa empat pulau. 

JK menyinggung adanya Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, Senin (15/8/2005).

"Nah, mengenai perbatasan itu ada di pasal 1.1.4 yang berbunyi, 'Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956,'" ujar JK sambil membacakan isi nota kesepahaman tersebut, di Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025), dipantau dari Breaking News KompasTV. 

Mengenai perbatasan tahun 1956 yang disebutkan sebelumnya, Jusuf Kalla mengaitkannya dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatra Utara. 

"Jadi dasarnya undang-undang. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Itu yang meresmikan Provinsi Aceh dengan kabupaten-kabupaten, nah itu, jadi formal," katanya. 

Lantas, Jusuf Kalla menyatakan, empat pulau yang bersengketa, secara historis (sejarah) masuk wilayah Aceh Singkil.

"Dalam sejarahnya, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil, bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa," ujarnya.

Jusuf Kalla juga menyatakan dirinya sudah berdiskusi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk membahas masalah empat pulau ini. 

"Bahwa tentu karena ini didirikan dengan undang-undang, tidak mungkin, tentu tidak bisa dibatalkan atau dipindahkan dengan Kepmen, karena undang-undang lebih tinggi daripada Kepmen. Kalau mau ubah, itu undang-undang juga," tuturnya. 

Anggota DPR Singgung Kesepakatan Bersama Gubernur Aceh-Sumut pada 1992 

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PKS Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh, Nasir Djamil menegaskan, pemerintah dan DPR Aceh sepakat menolak Kepmendagri yang memutuskan empat pulau masuk wilayah Sumut.

"Kesepakatan kami tadi malam itu, Pemerintah Aceh, kemudian DPR Aceh dan anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh itu menolak keputusan Mendagri terkait dengan empat pulau yang kini masuk dalam wilayah Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Tapanuli Tengah," ujarnya dalam program Kompas Petang KompasTV, Sabtu (14/6/2025). 

Ia menegaskan, empat pulau yang bersengketa secara aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, sebenarnya masuk dalam wilayah Aceh

"Karena itu kami meminta agar Kementerian Dalam Negeri melakukan semacam evaluasi dan revisi," tambahnya. 

Nasir mengatakan, pada tahun 1992, ada kesepakatan bersama antara Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. 

"Mereka menyepakati tentang empat pulau itu masuk dalam wilayah Aceh, disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, Pak Rudini almarhum," ujarnya. 

Ia menekankan, kesepakatan tersebut seharusnya menjadi rujukan. 

"Rapat tanggal 22 Juli tahun 2022 di Bali itu juga sebenarnya para pemangku kepentingan kementerian dan lembaga itu juga meminta agar SKB (surat keputusan bersama) itu menjadi sebagai rujukan untuk memastikan bahwa empat pulau itu masuk wilayah Aceh," ujarnya. 

Maka dari itu, Nasir menekankan, permintaan dari Pemerintah Provinsi Aceh adalah agar empat pulau tersebut tetap berada di wilayah Provinsi Aceh, meskipun ia juga mengakui pada 2009 memang sempat ada kekeliruan dalam memberikan koordinat. 

Ia menegaskan, keinginan masyarakat Aceh untuk mempertahankan empat pulau tersebut berdasar pada sejarahnya. 

Selain itu, Nasir menuturkan, selama ini pemerintah Aceh juga sudah berulang kali melakukan upaya untuk mempertahankan empat pulau tersebut. 

Maka dari itu, ia berharap Kemendagri dapat memberikan keputusan yang bijak berdasarkan kondisi di lapangan terhadap persoalan empat pulau ini. 

"Kalau rujukannya kebijakan yang bijak, kemudian berdasarkan dokumen dan kondisi di lapangan, kami yakin bahwa empat pulau itu masuk dalam wilayah Aceh," tuturnya. 

Wamendagri Tanggapi Isu Empat Pulau 

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto memberikan tanggapan mengenai kesepakatan bersama antara Gubernur Sumut Raja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tahun 1992 terkait empat pulau. 

"Tanggal 22 bulan April tahun '92 ada kesepakatan antara Gubernur Sumatra Utara saat itu, Raja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan disaksikan oleh Pak Rudini (Mendagri saat itu) untuk menyepakati wilayah antara dua provinsi, itu betul," kata Bima dalam program Kompas Petang KompasTV, Sabtu (14/6/2025). 

Namun, Bima mengatakan, pihaknya belum menemukan titik-titik koordinat yang presisi dalam kesepakatan tersebut. 

"Hanya di situ disebutkan saja batas-batas wilayah kabupaten, disebutkan secara umum, tapi belum ada koordinatnya," ujarnya. 

Ia menyebut, Kemendagri pun menelusuri dokumen tersebut. 

"Ini harus dilakukan proses autentikasi, keasliannya, kemudian lampirannya apa saja, dan tentu kalau kemudian ada data baru, akan semakin menambah (terang), begitu ya," kata Bima. 

Menindaklanjuti isu empat pulau yang mendapat kontra dari berbagai pihak usai ditetapkan masuk ke wilayah Sumut, Bima menyatakan Mendagri Tito Karnavian telah memutuskan untuk melakukan kajian ulang secara komprehensif (luas dan lengkap) terhadap permasalahan ini. 

Ia mengatakan, Kemendagri akan melakukan kajian ulang dengan melibatkan Tim Pembakuan Nama Rupabumi (PNR), tokoh masyarakat, anggota DPR, juga pimpinan wilayah.

Ia mengatakan, pertemuan dengan berbagai pihak tersebut dilakukan untuk saling memperkaya data mengenai masalah empat pulau. 

"Kita perlu memfokuskan kepada hasil perjanjian atau kesepakatan (Gubernur dua provinsi) di tahun '92, kemudian juga Undang-Undang Nomor 24 Tahun '56 yang dirujuk oleh Pak JK (Jusuf Kalla) kemarin, saya kira perlu kita dalami bersama," tuturnya. 

Yusril Ihza Mahendra: Keputusan Belum Final 

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra memberikan tanggapan terkait polemik empat pulau. 

"Pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini dalam waktu dekat dan berupaya mencari keputusan terbaik untuk semua pihak," kata Yusril, Minggu (15/6/2025), dilansir Kompas.tv. 

Ia juga mengharapkan semua pihak bersabar terhadap penyelesaian masalah ini. 

"Karena memang keputusan itu belum final," jelasnya. 

Yusril juga menegaskan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau bukan untuk menentukan batas wilayah.

Pasalnya, menurut penjelasannya hal itu ditentukan melalui Peraturan Mendagri.

"Penentuan batas wilayah itu berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah diputuskan melalui Peraturan Mendagri bukan Keputusan Mendagri," tegasnya.

Selain itu, ia menjelaskan, pertimbangan dalam menentukan status kepemilikan pulau tidak hanya dilihat dari segi geografis saja. 

"Jadi tentu ada faktor-faktor lain faktor-faktor sejarah, faktor-faktor budaya, faktor-faktor penempatan suku, dan lain-lain di kawasan itu, yang juga harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan pulau itu masuk ke dalam wilayah provinsi atau kabupaten atau kota yang mana," ujarnya. 

Presiden Prabowo Ambil Alih Persoalan Empat Pulau 

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi mengungkapkan Presiden Prabowo Subianto mengambil alih persoalan sengketa kepemilikan 4 pulau antara Aceh dan Sumut.

"Ini diambil alih pemerintah pusat dalam hal ini Presiden mengambil alih langsung dan dijanjikan secepatnya akan diselesaikan," kata Hasan dalam keterangannya, Senin (16/6), dikutip dari Breaking News KompasTV.

Hasan juga memastikan Prabowo akan segera mengambil keputusan terkait polemik empat pulau tersebut.

"Presiden akan segera mengambil keputusan secepatnya, dan dengan mempertimbangkan aspirasi-aspirasi, maupun proses histroris, proses administrasi yang sudah dijalankan selama ini," imbuhnya.

Sebab itu, ia pun meminta semua pihak untuk menunggu keputusan dari Presiden terkait 4 pulau tersebut.

Kemendagri Temukan Bukti Baru 

Wamendagri Bima Arya Sugiarto mengungkapkan ada bukti baru yang dapat menjadi landasan kuat penentuan kepemilikan empat pulau. 

"Selain data-data yang memang sudah ada yang kami pelajari lebih dalam lagi, ada novum atau data baru yang kami peroleh berdasarkan penelusuran Kemendagri," beber Bima, Senin (16/6/2025), usai rapat membahas keputusan empat pulau. Dipantau dari Breaking News KompasTV. 

Ia mengatakan bukti baru tersebut akan dijadikan kelengkapan berkas untuk dilaporkan kepada Mendagri, juga kepada Presiden. 

"Kami sore ini menyepakati bahwa keputusan akhir adalah didapat dari data-data yang hari ini dikumpulkan oleh forum rapat lintas instansi ini untuk kemudian Pak Menteri (Tito Karnavian) laporkan kepada Bapak Presiden," tambahnya. 

Namun, dalam kesempatan itu Bima tidak mengungkap lebih detail mengenai bukti baru tersebut. 

"Kami belum bisa sampaikan ya itu substansinya, nanti akan kami sampaikan langsung, tetapi data-data ini sangat penting untuk mengambil keputusan," ujarnya. 

Dalam kesempatan itu, ia juga menyatakan tidak tertutupnya kemungkinan revisi Keputusan Mendagri mengenai empat pulau tersebut. 

"Seperti yang juga disampaikan oleh Pak Menteri Dalam Negeri, tidak ada keputusan yang tidak bisa diubah atau diperbaiki," katanya. 

Ia menambahkan, Kemendagri mendengar, menimbang, serta mempelajari semua masukan, data, dan perspektif yang disampaikan berbagai pihak untuk menghasilkan keputusan akhir tentang status kepemilikan empat pulau. 

Sumber : KompasTV

Baca berita lainnya di Google News

Bergabung dan baca berita menarik lainnya di saluran WhatsApp Tribunsumsel.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved