Berita Viral

Kisah Soesalit Djojoadhiningrat Anak Semata Wayang R.A. Kartini Terlupakan Sejarah,Berkarier Militer

Soesalit Djojoadhiningrat, satu-satunya anak dari Raden Ajeng Kartini, tak banyak dikenal masyarakat. Namanya seakan tenggelam di balik popularitas sa

Editor: Moch Krisna
Istimewa
ANAK KARTINI : Potret Soesalit Djojoadhiningrat anak kartini diambil tanggal 13 september 1904 

TRIBUNSUMSEL.COM -- Banyak orang tak tahu jika Raden Ajeng Kartini memiliki anak semata wayang bernama Soesalit Djojoadhiningrat.

Kisahnya hidupnya bak tenggelam di balik popularitas sang ibu merupakan pelopor emansipasi perempuan Indonesia. 

Melansir dari Kompas.com, Minggu (20/4/2025) Soesalit Djojoadhiningrat lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 13 September 1904. Ia adalah anak dari RA Kartini dengan suaminya, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, Bupati Rembang kala itu. 

Namun, hanya empat hari setelah melahirkannya, RA Kartini wafat. Soesalit pun tumbuh tanpa kasih sayang ibu. Tragedi serupa kembali terjadi ketika Soesalit baru menginjak usia delapan tahun.

Sang ayah meninggal dunia, menjadikannya yatim piatu. Setelah itu, Soesalit diasuh oleh neneknya, Ngasirah, serta kakak tirinya yang tertua, Abdulkarnen Djojoadhiningrat. Abdulkarnen-lah yang membiayai pendidikan Soesalit dan mengatur jalannya kehidupan sang adik tiri.

Layaknya RA Kartini, Soesalit mengenyam pendidikan di Europe Lagere School (ELS), sekolah elite yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan kaum bangsawan pribumi. 

Pada 1919, ia lulus dari ELS dan melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang, kemudian masuk Rechtshoogeschool (RHS) di Batavia sekolah tinggi hukum bergengsi pada masa kolonial. Namun, Soesalit hanya menempuh pendidikan hukum selama setahun. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai pamong praja kolonial.

Karier Soesalit mengambil arah yang mengejutkan ketika Abdulkarnen menawarinya posisi di Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yakni polisi rahasia Hindia Belanda.

Tugasnya adalah memata-matai kaum pergerakan nasional dan mengantisipasi spionase asing, termasuk dari Jepang. Pekerjaan ini membuat batin Soesalit terbelah vdi satu sisi ia bekerja untuk pemerintahan kolonial, tapi di sisi lain ia paham bahwa tugasnya justru mengkhianati bangsanya sendiri. Situasi berubah saat Jepang menguasai Indonesia. 

Soesalit meninggalkan PID dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), tentara sukarela bentukan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, Soesalit aktif dalam perjuangan fisik. Ia pernah menjadi Panglima Divisi III Diponegoro dan bergerilya di Gunung Sumbing saat Agresi Militer Belanda II.

Namun, karier militernya tidak berjalan mulus. Soesalit yang sempat berpangkat Mayor Jenderal, diturunkan pangkatnya menjadi Kolonel, hingga kemudian dipindahkan ke Kementerian Perhubungan. Puncak penderitaan Soesalit terjadi pada peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948. 

Dalam sebuah dokumen yang disita pemerintah, namanya tercantum sebagai "orang yang diharapkan" oleh kelompok pemberontak.  Pada September 1948, terjadi peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun yang menyeret namanya.

Peristiwa tersebut merupakan pemberontakan oleh kelompok komunis, di mana tentara yang dianggap memiliki kecenderungan kiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhasil menguasai Kota Madiun dan sekitarnya. 

Soesalit, yang memiliki hubungan dekat dengan beberapa tokoh-tokoh dan laskar-laskar kiri, dituduh terlibat dalam pemberontakan ini.

Meski keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun tidak pernah dibuktikan dan tidak melalui proses peradilan, ia dijadikan sebagai tahanan rumah. Soesalit kemudian dibebaskan oleh Presiden Soekarno, dan setelah peristiwa itu, ia tidak lagi menjabat panglima. 

Halaman
12
Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved