Citizen Journalism
Layangan yang Terlahir Kembali, Wajah Baru Kawasan Jaloer
SAPA temanku di sore hari depan rumah setelah sekian purnama bertemu kembali dengannya. Aku agak sedikit mengernyitkan dahi, tanda bingung dan tidak p
Sama halnya dengan beberapa nasib permainan rakyat lainnya. Sebut saja gasing dengan "pathon"nya, enthek dengan pukulannya, dan sebagainya. Mati suri enggan ngelilir kembali.
Layangan telah hidup lagi
Kini, layangan yang sekian tahun mati suri seolah-olah hidup dan digemari lagi. Di desa kami saja ada beberapa tempat khusus untuk bermain layangan. Lapangan sepakbola dan areal persawahan. Disanalah setiap hari --menjelang sore-- masyarakat menyalurkan kegemarannya bermain layangan.
Anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua bermain layangan. Jikapun ada yang tidak, mereka mau dan senang menonton. Bahkan sampai rela mengajak anak yang masih kecil menonton layang-layang.
"Entah kenapa saya gak suka main layangan, bahkan dulu waktu kecil kalau ada layangan yang jatuh depan rumah, tak rusakin tak patah-patahin. Tapi kalau sekedar nonton begini suka saja," kata seorang penonton mengomentari permainan layangan.
Beda zaman beda pula kemasannya. Sekarang bentuk dan variasinya sungguh luar biasa semarak. Layangan jenis bapangan saja begitu bayak macamnya. Mungkin ini karena kemajuan zaman informasi yang begitu cepat. Hanya bermodalkan tutorial di youtube misalnya, kita sudah bisa membuat layangan yang lain daripada yang lain. Maka wajar saja, ketika melihat layangan saat ini jauh sekali berbeda pada zamanku dulu.
Apapun itu, semarak bermain layang-layang menjadi sebuah penanda bahwa permainan ini kembali digemari dan mulai bergeliat. Banyak acara perlombaan dan festival diadakan dan terbuka untuk umum. Hadiahnyapun juga menggiurkan. Jutaan rupiah. Setiap perlombaan yang diadakan selalu ramai penonton. Semarak di lapangan juga tidak kalah dengan postingan warga di beranda media sosial masing-masing.
Sepanjang musim kemarau ini sudah bayak sekali even festival layangan yang digelar di berbagai tempat di Jaloer. Kiranya musim kemarau masih panjang, saya rasa demam layangan belum akan usai.
Geliatkan ekonomi
Menyikapi hidupnya layangan di Jaloer, tentu berimbas pada geliat ekonomi yang semakin baik. Bukan hanya para penjual yang ketiban untung dalam setiap festival tapi juga sebagai penanda bahwa mereka dalam hal ekonomi mungkin sudah jauh lebih baik di banding awal-awal transmigrasi, misalnya.
Semarak yang mulai tumbuh lagi, seharusnya menjadi momentum untuk tetap terus melestarikan layangan. Tidak hanya layangan sebenarnya, banyak permainan tradisional yang mati suri tak lagi digemari. Berkaca pada layangan, tentu kita bisa kembali menghidupkannya.
Namun dari semua itu kita berharap layangan tahun mendatang akan semakin semarak lagi. Festival bisa dikemas dengan baik dan menarik sehingga bisa menjadi wajah baru bagi Jaloer, tidak hanya berbicara tentang kubangan lumpur. Semangat!
(Citizen Journalism/Andi Triyono
Dokter RSUD Sekayu Alami Kekerasan, Pengamat Perilaku Kesehatan: Nakes Punya Hak Hentikan Pelayanan |
![]() |
---|
OPINI: Lebak Lebung, Aset Wisata Lingkungan yang Masih Tertidur |
![]() |
---|
OPINI: Pancasila Ada di TPS dan Lorong-lorong Kota Palembang |
![]() |
---|
OPINI: Papan Bunga Berganti Tanaman Produktif |
![]() |
---|
Buka dan Bertumbuh: Menghormati Perempuan, Budaya & Keberlanjutan Melalui Buka Puasa Bersama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.