Berita Nasional

Mahfud MD Bicara 4 Poin Pandangan Terkait Kasus OTT KPK ke Kepala Basarnas Picu Problem Kewenangan

Menteri kordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Mahfud MD kembali bersuara terkait polemik kasus operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan KPK ter

Editor: Moch Krisna
Tribunnews.com
Menkopolhukam Mahfud MD 

TRIBUNSUMSEL.COM -- Menteri kordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Mahfud MD kembali bersuara terkait polemik kasus operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan KPK terhadap pejabat Badan Sar Nasional (Basarnas).

Diketahui KPK menetapkan Marsekal Madya TNI (Purn) Henri Alfiandi seorang perwira di tubuh TNI.

Hal tersebut memicu problem hukum kewenangan lantaran seharusnya pihak TNI yang melakukan penetapan tersangka.

Melihat hal tersebut, Mahfud MD coba menengahi dengan memberikan 4 poin penting terhadap kasus OTT tersebut.

Berikut empat poin yang disampaikan Mahfud MD via akun instagramnya, Sabtu (29/7/2023).

Mahfud MD Sampaikan Empat Poin Terkait
Mahfud MD Sampaikan Empat Poin Terkait Kasus OTT KPK ke Kepala Basarnas Timbulkan Polemik

1. Meskipun harus disesalkan, problem yang sudah terjadi itu tak perlu lagi diperdebatkan berpanjang-panjang. Yang penting kelanjutannya, agar terus dilakukan penegakan hukum atas substansi masalahnya, yakni korupsi.

2. Mengapa harus meneruskan masalah pokok dan berhenti memperdekatkan prosedurnya? Sebab KPK sudah mengaku khilaf secara prosedural, sedangkan di lain pihak TNI juga sudah menerima substansi masalahnya, yakni sangkaan korupsi untuk ditindaklanjuti berdasar kompetensi peradilan militer.

3. Yang penting masalah korupsi yang substansinya sudah diinformasikan dan dikordinasikan sebelumnya kepada TNI ini harus dilanjutkan dan dituntaskan melalui Pengadilan Militer. Perdebatan tentang ini di ruang publik jangan sampai menyebabkan substansi perkaranya kabur sehingga tak berujung ke Pengadilan Militer.

4. Meskipun terkadang ada kritik bahwa sulit membawa oknum militer ke pengadilan tetapi biasanya jika suatu kasus sudah bisa masuk ke pengadilan militer sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas.

KPK Akui Salah dan Minta Maaf

Akui lakukan kesalahan prosedur, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf kepada pihak TNI.

Permintaan maaf tersebut disampaikan setelah adanya pertemuan antara KPK dan TNI di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023).

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak minta maaf di depan Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu (OTT KPK) tim mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan."

"Bahwasanya manakala ada yang melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani, bukan KPK," kata Johanis Tanak dikutip dari tayangan Facebook Tribunnews.com.

Pihaknya mengatakan hal itu mengacu pada aturan lembaga peradilan, sebagaimana diatur dalam UU nomor 14 tahun 1970, disebutkan ada 4 lembaga peradilan yang menangani proses hukum.

Yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama.

"Dan ketika ada melibatkan militer maka sipil harus menyerahkan kepada militer," lanjutnya lagi.

"Di sini ada kekeliruan dari tim kami yang melakukan penangkapan, oleh karena itu kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI dan sekiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan."

"Ke depan kami akan berupaya bekerja sama yang baik antara TNI dengan KPK dan aparat penegaj hukum yang lain, dalam upaya menangani pemberantasan tindak pidana korupsi," pungkasnya.

Seperti diketahui sebelumnya dalam giat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Jalan Raya Mabes Hankam, Cilangkap, Jakarta Timur, dan di wilayah Jatiraden, Jati Sampoerna, Bekasi pada Selasa (25/7/2023), penyidik mengamankan 11 orang, yakni dari pihak swasta dan penyelenggara negara.

Termasuk Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, selaku Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas (Kabasarnas).

Hingga akhirnya KPK menetapkan 5 tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan proyek alat deteksi korban reruntuhan.

Letkol Adm Afri Budi Cahyanto hingga satu di antara tersangka yakni Kepala Basarnas RI, Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi.

Adanya proses tersebut dianggap TNI menyalahi ketentuan yang berlaku.

Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko mengatakan yakni ketentuan yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

"Jadi menurut kami apa yang dilakukan KPK menetapkan personel militer sebagai tersangka menyalahi ketentuan," kata Agung saat konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap Jakarta pada Jumat (28/7/2023).

Kepala Babinkum TNI, Laksda Kresno Buntoro juga menjelaskan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit aktif tunduk pada ketentuan UU tersebut dan UU nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Di dalam UU peradilan militer, kata dia, diatur mengenai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, hingga pelaksanakan eksekusi.

Selain itu, kata dia, diatur juga dengan tegas terkait penyelidikan, penangkapan dan penahanan.

Kepala Basarnas Belum Ditetapkan sebagai Tersangka

Di sisi lain, Marsda Agung Handoko juga mengatakan saat ini Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsminnya Letkol Afri Budi Cahyanto belum ditetapkan sebagai tersangka.

Saat ini Puspom TNI baru mendapat laporan resmi dari KPK terkait penetapan tersangka dua prajurit aktif TNI dalam kasus dugaan suap terkait sejumlah proyek di Basarnas.

Laporan resmi dari KPK berupa laporan polisi tersebut, kata Agung, baru diserahkan kepada pihaknya pada Jumat (28/7/2023) pukul 10.30 WIB siang ini.

Sehingga, kata dia, proses hukum terhadap dua perwira aktif TNI tersebut baru bisa dilakukan.

(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved