Ferdy Sambo Divonis Mati

Pasal 100 KUHP Disiapkan untuk Loloskan Ferdy Sambo dari Hukuman Mati ?, Ini Bantahan Wamenkumham

Jika dalam 10 tahun terpidana berkelakuan baik dan menyesali perbuatannya, maka vonis mati diganti dengan penjara seumur hidup.

|
Editor: Weni Wahyuny
Dokumentasi Kompas.com
Muncul isu jika Pasal 100 KUHP dipersiapkan untuk meloloskan Ferdy Sambo dari hukuman mati pembunuhan Brigadir J. Ini bantahan Wamenkumham 

TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo divonis mati dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Muncul isu jika Ferdy Sambo bisa lolos dari hukuman mati dengan adanya Pasal 100 KUHP yang baru.

Bahkan pasal tersebut disebut-sebut sudah dipersiapkan untuk meloloskan sang mantan jenderal dari hukuman mati.

Jika dalam 10 tahun terpidana berkelakuan baik dan menyesali perbuatannya, maka vonis mati diganti dengan penjara seumur hidup.

Baca juga: Sederet Lembaga Menolak Ferdy Sambo Divonis Mati, Sebut Tak Sesuai HAM Hingga Langgar Hak Hidup

KUHP baru ini akan berlaku 3 tahun sejak disahkan.

Artinya baru bisa dipakai pada 2026.

Benarkah seperti itu ?

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjawab tudingan tersebut.

Eddy, panggilan Edward Omar tak mau ambil pusing dengan tuduhan tersebut.

"Ya orang berasumsi, orang berprasangka buruk silakan saja, itu urusan mereka sendiri," kata Eddy dalam keterangan video, dikutip Kamis (16/2/2023).

Baca juga: Komentar Putri Candrawathi Divonis 20 Tahun Penjara, Bunda Corla Soroti Wajah Istri Ferdy Sambo

Dalam Pasal 100 KUHP baru dijelaskan, hakim bisa menjatuhkan vonis mati dengan masa percobaan 10 tahun.

Namun, Eddy menjelaskan isi Pasal 100 KUHP yang baru ini sudah dibahas jauh sebelum Ferdy Sambo terseret kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

"Sebentulnya pertimbangan mengenai masa percobaan 10 tahun muncul lebih dari 10 tahun lalu, itu ada dalam pertimbangan MK, pada 2006 kalau tidak salah, pasal soal pidana mati diuji, pada saat itu putusan MK, 4 banding 5, jadi 5 (hakim MK) setuju untuk tetap mempertahankan pidana mati, yang 4 (hakim MK lainnya) tidak setuju, ingin pidana mati dihapuskan," jelas Eddy.

Menurut Eddy, lantaran ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari para hakim Mahkamah Konstitusi, maka di situ tercetus bahwa pidana mati perlu mendapatkan masa percobaan selama 10 tahun.

Apabila dalam 10 tahun masa pidana sang terpidana berkelakuan baik, maka akan diubah menjadi pidana seumur hidup.

"Kalau sudah berkelakuan baik, maka bisa diubah dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup, atau pidana sementara waktu. Dan ini sesuai dengan visi KUHP Nasional yang disahkan pada 6 Desember (2022) yang kemudian diundangkan pada 2 Januari (2023) dengan UU Nomor 1 tahun 2023," kata dia.

Baca juga: Ferdy Sambo Divonis Pidana Mati, Akademisi Sebut Eks Kadiv Propam Tak Lagi Punya Power

Eddy menjelaskan, salah satu visi KUHP Nasional adalah reintegrasi sosial.

Menurut Eddy, visi ini memberikan kesempatan kepada pelaku kejahatan untuk memperbaiki diri dan tak mengulangi perbuatannya.

"Reintegrasi sosial itu setiap orang yang melakukan kejahatan pasti ada kesempatan kedua bagi dia untuk memperbaiki diri, untuk tidak lagi mengulangi, jadi diharapkan ketika dia dijatuhi sanksi sembari mendapatkan pembinaan dari teman-teman di pemasyarakatan, dia akan menjadi baik, dia akan bisa diterima masyarakat, dia tidak akan mengulanginya dan bisa bermanfaat bagi masyarakat," kata Eddy.

Atas dasar itu, Eddy menolak dikatakan Pasal 100 KUHP yang baru ini sengaja dibuat untuk melindungi hukuman mati Ferdy Sambo.

Menurut Eddy, Pasal 100 KUHP ini merupakan solusi bagi mereka yang pro dan kontra terhadap pidana mati.

"Saya ingin menegaskan bahwa kontruksi Pasal 100 itu bukan tiba-tiba turun dari langit, tapi sudah 10 tahun lalu, dan ini sebagai jalan tengah, ini adalah cara Indonesia untuk mencari win win solution antara paham yang ingin tetap ada pidana mati dengan paham yang tak ingin ada pidana mati," kata Eddy.

Lembaga yang Tolak Vonis Mati Sambo

Sederet lembaga ini menolak vonis hukuman mati yang dijatuihkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap Ferdy Sambo.

Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan JPU yang menuntut eks Kadiv Propam Polri tersebut dengan hukuman seumur hidup penjara.

Diketahui Ferdy Sambo dinyatakan hakim telah terbukti melakukan tindak pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Atas hal tersebut, Ferdy Sambo dikenakan Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun2008 tentang ITE jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana, dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang dilakukan secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana mati," ujar Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso saat sidang, Senin.

Banyak yang pro terhadap keputusan hakim yang menjatuhkan vonis mati kepada Ferdy Sambo.

Keputusan hakim tersebut dianggap sebagai hal yang pantas dan menjawab rasa keadilan yang diinginkan masyarakat luas.

Namun tak sedikit pula yang keberatan dan menentang keputusan hukuman mati tersebut.

Meski mereka juga menginginkan Ferdy Sambo dihukum berat atas kejahatannya, hukuman mati dirasa tidak sesuai dengan konstruksi hukum hak asasi manusia (HAM).

Berikut beberapa lembaga maupun tokoh yang menolak hukuman mati terhadap Ferdy Sambo:

1. Peneliti dari Setara Institute, Ismail Hasani

Peneliti dari Setara Institute, Ismail Hasani, mengkritik vonis mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada terdakwa Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Hutabarat atau Brigadir J.

Menurut Ismail, vonis mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap mantan Kadiv Propam Polri itu tidak sesuai dengan konstruksi hukum hak asasi manusia (HAM).

Sebab, kata dia, vonis hukuman mati telah melanggar hak hidup seseorang. Ia menyebut hak hidup merupakan nilai universal yang dianut negara beradab.

"Dalam konstruksi hukum hak asasi manusia, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran hak hidup. Hak hidup adalah given dan nilai universal bagi rezim hukum HAM dan dianut negara-negara beradab," kata Ismail dalam keterangan tertulisnya yang dikutip pada Rabu (15/2/2023).

Analisa pengacara kondang Hotman Paris soal hukuman mati Ferdy Sambo tentang pasal 100 KUHP yang baru. (Ig/@terang_media)
Ismail mengakui bahwa publik menilai vonis mati terhadap Ferdy Sambo adalah hukuman yang setimpal karena perbuatannya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

Namun demikian, Ismail menegaskan, negara melalui peradilan semestinya tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang.

Oleh karena itu, Ismail berharap, negara melalui lembaga peradilan dapat mengoreksi pidana mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo.

"Pengadilan di tingkat banding dan kasasi masih memungkinkan negara mengkoreksi pidana mati dengan hukuman lain yang setimpal dan membuat efek jera," ujar Ismail.

Lebih lanjut, Ismail menekankan bahwa kasus Ferdy Sambo harus menjadi pelajaran serius bagi institusi Polri untuk melakukan reformasi di internal lembaga tersebut.

2. Amnesty International

Amnesty Internasional tidak mendukung penjatuhan vonis mati terhadap terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Ferdy Sambo.

Amnesty International mengakui perbuatan Ferdy Sambo sulit untuk ditoleransi lantaran dirinya adalah seorang perwira tinggi Polri yang menjabat sebagi Kadiv Propam Polri serta layak untuk dihukum berat.

Namun, Amnesty International menganggap hukuman mati tidak perlu untuk dijatuhkan lantaran Ferdy Sambo juga memiliki hak asasi untuk hidup.

"Perbuatannya memang tergolong kejahatan yang serius dan sulit ditoleransi. Terlebih mengingat kapasitasnya sebagai kepala dari polisinya polisi. Komnas HAM menyebut kasus ini sebagai extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan."

"Artinya perbuatan itu tergolong kejahatan di bawah hukum internasional. Meski Sambo perlu dihukum berat, ia tetap berhak untuk hidup," kata Amnesty International dalam siaran pers dikutip pada Selasa (14/2/2023).

Terkait vonis mati, Amnesty Internasional menilai jenis hukuman seperti itu telah ketinggalan zaman.

Di sisi lain, berkaca dari kasus ini, Amnesty International mendorong agar negara membenahi sistem penegakan akuntabilitas aparat keamanan yang terlibat kejahatan.

“Jangan melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan oleh aparatus negara atas nama apapun, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun."

3. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)

Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom menanggapi vonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Ferdy Sambo.

Meski menghargai putusan hakim, Gomar menilai hukuman mati kepada Sambo ini merupakan keputusan yang berlebihan.

"Namun hukuman mati adalah sebuah keputusan yang berlebihan mengingat Tuhan lah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Dengan demikian, hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya," ujar Gomar melalui keterangan tertulis, Selasa (14/2/2023).

Menurut Gomar, penegakan hukum oleh negara haruslah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat.

Dia menilai hukuman sedianya untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut.

"Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Peluang untuk memperbaiki diri ini akan tertutup, bila hukuman mati diterapkan," ucap Gomar.

Indonesia, kata Gomar, telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka mestinya kita tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati.

Dalam perspektif HAM, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat 1.

Hukuman mati kepada Sambo, menurut Gomar, mengesankan balas dendam oleh negara.

4. IPW

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai, putusan pidana mati kepada terdakwa kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat Brigadir J, Ferdy Sambo adalah putusan yang tidak layak.

Karena kejahatan pembunuhan yang dilakukan Sambo, kata Sugeng, bukanlah hal yang sadis dan murni karena terlepas dari kontrol emosi.

"IPW melihat kejahatan Sambo tidak layak untuk hukuman mati karena kejahatan tersebut memang kejam akan tetapi tidak sadis bahkan muncul karena lepas kontrol," ujar Sugeng dalam keterangan pers, Senin (13/2/2023).

Sugeng mengatakan, motif dendam atau marah karena alasan apapun yang diwujudkan dengan tindakan jahat yang tidak menimbulkan siksaan lama sebelum kematian, bukan kejahatan sadisme.

Hal itu seperti yang dilakukan Sambo, karena kematian korban Yosua cukup singkat setelah penembakan terjadi.

Dia juga mengatakan, Sambo masih akan berpotensi mendapat putusan lebih rendah pada tahap selanjutnya, yaitu di tingkat banding atau kasasi.

"Karena hal yang meringankan tidak dipertimbangkan sama sekali (dalam vonis hukuman mati)," tutur Sugeng.

IPW juga menilai, putusan hukuman mati ini bukanlah keputusan murni dari pertimbangan hakim atas fakta persidangan.

"Putusan mati ini adalah putusan karena tekanan publik akibat pemberitaan yang masif dan hakim tidak dapat melepaskan diri dari tekanan tersebut," ucap Sugeng.

Baca berita lainnya di Google News

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Benarkah Pasal 100 KUHP Sengaja Disiapkan untuk Ferdy Sambo agar Lolos Hukuman Mati ?

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved