Berita Nasional
Gugatan Ferdy Sambo ke Kapolri dan Jokowi soal PTDH Disebut sebagai Momentum Perlawanan
Namun yang terbaru, Ferdy Sambo menggugat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Jokowi terkait putusan PTDH tersebut.
TRIBUNSUMSEL.COM - Kasus pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh Ferdy Sambo cs hingga kini masih terus berlangsung.
Sejumlah polisi, di terkena Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dalam kasus ini termasuk Ferdy Sambo.
Namun yang terbaru, Ferdy Sambo menggugat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Jokowi terkait putusan PTDH tersebut.
Kini, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menganggap gugatan Ferdy Sambo ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Joko Widodo terkait putusan PTDH adalah momentum perlawan dari mantan Kadiv Propam Polri tersebut.
Sugeng menjelaskan pemilihan frasa 'momentum perlawanan' lantaran dirinya menilai Ferdy Sambo akan tetap memanfaatkan celah yang ada dalam penegakan hukum di Indonesia dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Adapun celah yang dimaksud Sugeng adalah terkait adanya mafia peradilan dan koneksi Ferdy Sambo di tubuh Polri.
"Upaya gugatan Ferdy Sambo terkait dengan Pemberhentian Tidak dengan Hormat dirinya dilihat sebagai upaya Sambo mempertahankan momentum perlawanan."
"Saya ingin mengatakan, tampaknya Sambo tidak akan menyerah dan ia akan menggunakan celah yang ada yaitu celah internal di kepolisian maupun terkait dengan rentannya mafia peradilan untuk dapat digunakan oleh Sambo memperjuangkan haknya," kata Sugeng ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (30/12/2022).
Kendati demikan, Sugeng menganggap gugatan Ferdy Sambo akan ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta jika tidak ada permainan dalam jalannya persidangan.
Hal tersebut lantaran secara normatif, Keputusan Presiden (Keppres) terkait PTDH terhadap Ferdy Sambo telah memenuhi dua syarat yaitu formil dan materil.
"Syarat formil bahwa presiden menerbitkan surat Pemberhentian Tidak dengan Hormat atas Ferdy Sambo didasarkan oleh dua proses di Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP) dan pada tingkat banding KKEP."
"Dari sisi materil, perbuatan Sambo dinilai telah melanggar kode etik dalam kategori berat yang melanggar Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Kepolisian serta Perkap Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian," papar Sugeng.
Selain itu, Sugeng melihat gugatan Ferdy Sambo ini berkaitan dengan kasus Ismail Bolong yang terseret kasus dugaan suap tambang ilegal.
"Sambo melihat suatu celah kasus tentang Ismail Bolong sebenarnya belum tutup buku. Sambo sedang menunggu ada pihak yang melaporkan kasus terkait Ismail Bolong mengenai dugaan gratifikasi atau suap maupun kode etik," ujarnya.
"Karena sampai saat ini belum ada yang membawa tiga bukti permulaan yang bisa menjadi dasar sebagai pengaduan masyarakat misalnya kepada KPK karena KPK adalah lembaga penegak (pemberantasan) korupsi yang memang fokus pada (kasus) korupsi yang memang fokus pada aparatur penegak hukum," imbuh Sugeng.
Baca juga: Debat Panas Kubu Ferdy Sambo VS Hakim dan JPU Soal Bukti Kasus Brigadir J, Pemicunya
Baca juga: Penyebab Ferdy Sambo Gugat Jokowi dan Kapolri, Tak Terima Dipecat Hingga Singgung Integritas
Ferdy Sambo Singgung Integritas saat Jadi Polisi soal Gugatan ke Kapolri dan Jokowi
Terpisah, kuasa hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis membeberkan beberapa alasan yang melandasi gugatan oleh kliennya itu ke Kapolri dan Jokowi.
Salah satunya adalah terkait integritas Ferdy Sambo selama kariernya sebagai anggota Polri.
Hal tersebut, kata Arman, dapat dibuktikan dengan Ferdy Sambo yang telah menerima 11 tanda kehormatan dari Kapolri.
"Bapak Ferdy Sambo, selama menjadi anggota Kepolisian Republik Indonesia, penggugat (Ferdy Sambo) telah dengan cakap melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban sebagai anggota Kepolisan Republik Indonesia secara profesional, mandiri, dan berintegritas."
"Dapat dibuktikan dengan pengabdian dan pelayanan yang dilakukan oleh klien kami kepada masyarakat Indonesia. Atas pencapaian tersebut, Bapak Ferdy Sambo telah menerima sekitar 11 Tanda Kehormatan dari pimpinan Polri," kata Arman dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Jumat (30/12/2022).
Kemudian, Ferdy Sambo mengaku keberatan atas keputusan dari Listyo Sigit karena permohonan pengunduran dirinya pada 22 Agustus 2022 sebagai anggota Polri tidak diproses.
"Pada tanggal 22 Agustus 2022, demi mendukung proses penyidikan dan sebelum adanya putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) dan tingkat banding, Bapak Ferdy Sambo telah menyampaikan surat pengunduran diri sebagai anggota Polri yang ditujukan kepada Tergugat II Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri."
"Namun, permohonan tersebut tidak diproses dan dipertimbangkan oleh pihak terkait," ujar Arman.
Padahal, berkaca dari pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan b Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri, tertulis anggota Polri yang akan disanksi PTDH dapat mengajukan pengunduran diri sebelum sidang etik.
Selain itu, pada ayat 1, tertulis bahwa syarat pengajuan pengunduran diri sebelum pelaksanaan sidang KKEP meliputi memilik masa dinas paling sedikit 20 (dua puluh) tahun dan memiliki kinerja hingga prestasi baik ketika menjadi anggota Polri.
Adanya aturan ini pun membuat Ferdy Sambo dianggap pantas mengajukan pengunduran diri sebelum sidang KKEP.
"Terhadap terduga Pelanggar KEPP yang diancam dengan sanski PTDH diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu sebelum pelaksanaan sidang KKEP dan pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi memiliki masa dinas paling sedikit 20 tahun dan memiliki prestasi, kinerja yang baik, dan berjasa kepada Polri, bangsa, dan negara sebelum melakukan pelanggaran," jelas Arman.
Lebih lanjut, Arman meminta kepada publik agar tidak mengaitkan gugatan ini dengan kasus yang menjerat Ferdy Sambo yaitu kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Hal tersebut lantaran gugatan Ferdy Sambo merupakan hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia (WNI).
"Perlu juga kami sampaikan bahwa gugatan klien kami di PTUN merupakan hal yang biasa saja dan merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh negara kepada warga negara."
"Proses peradilan pidana, dan upaya hukum di PTUN yang dijalani oleh klien kami adalah dua obyek yang berbeda dan seyogyanya tidak perlu dikaitkan secara berlebihan," tegasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com