Berita Nasional

Bharada E Disebut Tak Bisa Dipidana Dalam Kasus Pembunuhan Brigadir J, Alasannya Diungkap Pakar

Asep menjelaskan dalam sudut pandang hukum pidana, ada dua alasan terkait status vonis dari seorang terdakwa yaitu status peringan dan penghapus.

Editor: Slamet Teguh
Kolase Tribunsumsel.com
Bharada E Disebut Tak Bisa Dipidana Dalam Kasus Pembunuhan Brigadir J, Alasannya Diungkap Pakar 

TRIBUNSUMSEL.COM - Persidangan kasus pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh Ferdy Sambo hingga kini masih terus berlangsung.

Sejumlah saksipun dihadirkan dalam persidangan ini.

Selain saksi dalam persidangan, sejumlah pakarpun mengungkapkan pendapatnya terkait kasus tersebut.

Kini yang terbaru, pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan turut memberikan komentarnya terkait nasib Bharada E.

Asep Iwan Irawan mengungkapkan terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Bharada Richard Eliezer alias Bharada E tidak bisa dipidana.

Asep menjelaskan dalam sudut pandang hukum pidana, ada dua alasan terkait status vonis dari seorang terdakwa yaitu status peringan dan penghapus.

Namun, dalam konteks status vonis terhadap Bharada E, Asep menegaskan mantan ajudan Ferdy Sambo itu tidak bisa dipidana karena menjalankan perintah jabatan.

Asep pun memperkuat pendapatnya dengan mengutip Undang-Undang (UU) KUHP Pasal 51 ayat 1 yang berbunyi “barang siapa melakukan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan penguasa, tidak dipidana”.

“Di KUHP itu jelas, orang yang memerintahkan (Ferdy Sambo) itu yang bertanggung jawab, yang diperintahkan (Bharada E) hanyalah alat,” jelas Asep dalam tayangan Primetime News di YouTube metrotvnews, Senin (26/12/2022).

Menurutnya, dengan adanya Pasal 51 ayat 1 dalam KUHP inilah yang membuat hakim harus memiliki keberanian untuk memutuskan Bharada E dibebaskan dari segala dakwaan.

“Hakim dan Jaksa harus berani mengambil kesimpulan yaitu tuntutannya bebaskan Eliezer,” tegasnya.

Keterangan Saksi Ahli Meringankan soal Relasi Kuasa Bharada E dan Ferdy Sambo

Sebelumnya, pada persidangan yang digelar pada Senin (26/12/2022), Bharada E kembali menjalani sidang lanjutan dengan menghadirkan tiga saksi ahli yang meringankan yaitu pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel; ahli filsafat sekaligus Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat (STF) Driyakara, Romo Magnis Suseno; dan ahli psikolgi klinis dewasa, Liza Marielly Djaprie.

Dalam menyampaikan keterangannya, Romo Magnis menjelaskan bahwa ada dua unsur meringankan Bharada E dalam kasus yang menjeratnya yaitu pertama, kedudukan Richard sebagai anggota Polri berpangkat rendah yakni Bharada.

Menurutnya, relasi kuasa berupa perbedaan pangkat yang begitu jauh antara Bharada E dan Ferdy Sambo membuat adanya keterpaksaan untuk melaksanakan perintah eks Kadiv Propam Polri tersebut.

“Budaya laksanakan (perintah) itu adalah unsur yang paling kuat,” jelas Romo.

Perbedaan pangkat inilah yang juga membuat adanya dilema moral terhadap Bharada E untuk melaksanakan perintah Ferdy Sambo menembak Brigadir J.

Unsur meringankan yang kedua adalah adanya kerterbatasan waktu berpikir saat Bharada E memperoleh perintah dari Ferdy Sambo yang saat itu merupakan jenderal bintang dua.

Keterbatasan berpikir ini, kata Romo, membuat Bharada E mengalami kebingungan antara ingin melaksanakan atau menolak perintah dari Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J.

“Dia (Bharada E) harus langsung bereaksi. Itu dua faktor yang secara etis yang meringankan,” katanya.

“Kebebabasan hati untuk mempertimbangkan dalam waktu berapa detik mungkin tidak ada,” lanjut Guru Besar Ilmu Filsafat tersebut.

Sementara menurut Reza, Bharada E bisa bebas separuh dari hukuman yang dijatuhkan karena adanya tekanan dalam melakukan penembakan.

Menurutnya, Bharada E saat melakukan penembakan berada dalam kondisi memahami apa yang diperbuatnya (cognitive competence).

Namun, Reza juga menganggap Bharada E berada dalam momen berada dalam tekanan berulang kali dari Ferdy Sambo untuk menembak tetapi enggan untuk melakukannya atau policial competence.

“Ketika cognitive competence-nya ada sementara kehendaknya (policial competence) katakanlah tidak ada, maka boleh jadi yang bersangkutan (Bharada E) masuk dalam kategori partialy responsible atau bertanggungjawab separuh atas perbuatannya,” ujar Reza.

Pada kesempatan yang sama, Liza menyebut Bharada E memiliki level kepatuhan yang tinggi terhadap Ferdy Sambo.

Pernyataannya ini berdasarkan tes psikologi klinis yang dilakukannya terhadap Bharada E.

“Dari hasil tes tersebut, terlihat bahwa Richard Eliezer mempunyai level kepatuhan yang sangat tinggi sehingga dia punya kerentanan khusus, kecenderungan tertentu untuk patuh terhadap lingkungan,” jelasnya.

Sebagai informasi, Bharada E merupakan salah satu dari empat terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J yaitu Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, dan Kuat Maruf.

Mereka didakwa pasal 340 subsidair pasal 338 juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 dengan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun.

Baca juga: Ahli Psikolog Bicara 2 Unsur yang Dapat Meringankan Bharada E dan Sulit Melawan Perintah Ferdy Sambo

Baca juga: Respon Kamaruddin Simanjuntak Dilaporkan ke Polisi, Tuding Ada Keterlibatan Tim Ferdy Sambo

Saksi meringankan Ferdy Sambo

Terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi menghadirkan saksi ahli yang meringankan dalam sidang lanjutan perkara dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022).

Dalam persidangan ahli hukum pidana dari Universitas Andalas, Elwi Danil menjelaskan soal bagaimana jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) gagal membuktikan motif pembunuhan dalam perkara ini.

"Bagaimana jika Jaksa Penuntut Umum gagal membuktikan motif dalam perkara ini?" tanya kuasa hukum terdakwa, Febri Diansyah.

Menjawabnya, Elwi Danil menerangkan bahwa motif bukan jadi bagian inti dari delik perkara.

Delik dinilai bagian terpisah dari yang lain, dan tak perlu dibuktikan.

Namun dalam perkara yang memiliki unsur kesengajaan, motif jadi hal yang penting untuk membuktikan soal ada tidaknya kesengajaan tersebut.

"Bahwa motif bukanlah bagian inti delik, sehingga secara terpisah dengan yang lain, motif tidak perlu dibuktikan. Akan tetapi, adalah sesuatu yang tidak masuk akal ketika kita harus membuktikan unsur kesengajaan tanpa melihat motif. Sehingga dengan demikian motif menjadi penting untuk membuktikan suatu kesengajaan," terang Elwi Danil.

Sehingga kata dia, jika Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan motif dalam perkara pembunuhan berencana, maka pembuktian soal kesengajaan juga tak bisa dibuktikan.

"Kalau seandainya JPU tidak mampu membuktikan motif, itu artinya dia tidak mampu membuktikan motifnya, tapi membuktikan kesengajaannya," tuturnya.

Diketahui, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

Brigadir J tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Pembunuhan itu terjadi diduga setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo soal adanya pelecehan seksual di Magelang.

Ferdy Sambo kemudian menyusun strategi untuk menghabisi nyawa Brigadir J.

Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E didakwa melakukan pembunuhan berencana.

Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dan di Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved