Seputar Islam

Meninggal di Hari Jumat Dalam Islam Memiliki Keitimewaan dan Keutamaannya, Ini Penjelasannya

Meninggal di Hari Jumat Menurut Islam Memiliki Keitimewaan dan Keutamaannya, Ini Penjelasannya

Penulis: Abu Hurairah | Editor: Abu Hurairah
Tribunsumsel
Meninggal di Hari Jumat Dalam Islam Memiliki Keitimewaan dan Keutamaannya, Ini Penjelasannya 

Secara lengkap sanad dari hadis ini adalah: at-Tirmidzi à Muhammad bin Basysyar à Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Amir al-Aqadi à Hisyam bin Sa’ad à Sa’id bin Abi Hilal à Rabiah bin Saif à Abdullah bin Amr bin Ash.

Para ulama hadis berbeda pendapat tentang status hadis ini. Imam at-Tirmidzi (w. 360 H) sendiri yang meriwayatkan hadis ini dalam kitab Sunan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadis gharib (karena diriwayatkan oleh satu orang saja) dan munqathi’ karena sanadnya tidak bersambung (laisa bi muttashil).

Menurutnya, tokoh yang bernama Rabiah bin Saif (w. 120 H) dari generasi tabiut tabiin yang meriwayatkan hadis ini tidak pernah bertemu dengan sahabat Nabi Abdullah bin Amr bin Ash (w. 63 H), sehingga ada satu perawi dari tingkatan tabiin yang hilang.

Status gharib yang diberikan oleh at-Tirmidzi ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) seorang ulama hadis yang wafat di Mesir dengan label dhaif dalam kitabnya Fathul-Bari (vol. IV/hal. 467).

Mengenai status munqathi (terputus perawi dari kalangan tabiin) pada hadis ini, berdasarkan penelitian kami ditemukan bahwa sesungguhnya Imam at-Tirmidzi dalam kitabnya yang lain, Nawadir al-Ushul (sebuah kitab hadis yang mengkompilasi hadis-hadis dhaif), meriwayatkan hadis ini secara muttashil (bersambung).

Detik-detik Oded Walikota Bandung Meninggal di Masjid, Mendadak Jatuh hingga Jemaah Sigap Mengangkat

Baca juga: Tak Ada Wijin, Gisella Anastasia Dicecar 12 Pertanyaan Oleh Penyidik, Ibu Gempi : Oh Oke Mulai Lagi

Nama tokoh dari generasi tabiin yang bertemu dengan Rabiah bin Saif dan meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash yang sebelumnya hilang dalam Sunan at-Timidzi adalah Iyadh bin Aqabah al-Fihri dan Ali bin Ma’badh (at-Tirmidzi, Nawadir al-Ushul, vol. IV, hal. 161).

Imam al-Qurtubhi (w. 671 H) dalam at-Tadzkirah (hal. 167) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H) dalam ar-Ruh (hal. 161) demikian juga membantah status munqathi untuk hadis ini.

Namun, jika hadis ini selamat dari tadh’if (pendaifan) dari aspek ketersambungan mata rantai perawinya (ittishal as-sanad), hadis ini ternyata masih memiliki problem lain, yaitu dari sisi kredibilitas perawi.

Dari rangkaian para perawi tersebut di atas, Saif bin Rabi’ah adalah sosok yang bermasalah di kalangan ulama hadis. Imam al-Bukhari memberikan komentar bahwa padanya ada kemunkaran (lahu manakir) (lihat at-Tarikh al-Kabir, vol. III, hal. 290).

Ibnu Hibban menyebutnya kana yukhtiu katsiran (ia banyak berbuat salah dalam meriwayatkan hadis) (lihat ats-Tsiqat, vol. VI, hal. 301).

Komentar Ibnu Yunus terhadapnya sama dengan komentar al-Bukhari, dan an-Nasai melemahkan hadis-hadisnya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibu al-Tahdzib, vol. III, hal. 221, adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqdi ar-Rijal, vol. III, hal. 67).

Hadis yang serupa dengan sedikit perbedaan redaksi juga diriwayatkan oleh Ahmad (w. 241 H) dalam Musnad (hadis ke-6582, 7050), Abu Ya’la dalam Musnad (hadis ke-4113) dan Abd bin Humaid juga dalam Musnad-nya (hadis ke-323).

Namun, karena hadis-hadis tersebut juga berstatus dlaif, maka ia tidak bisa mengangkat derajat hadis ini naik menjadi hasan. Pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abd bin Humaid terdapat sosok terdapat yang bernama Baqiyah bin Walid yang dikomentari oleh Ibnu Hajar bahwa hadis-hadisnya munkar (karena ia sering lupa atau banyak melakukan kesalahan atau seorang fasik) dan ia banyak menyembunyikan cacat hadis (mudallis) (Lisan al-Mizan, vol. VI, hal. 184, Tabaqah al-Mudallisin, vol. I, hal. 49).

Dalam sanad Abu Ya’la terdapat Yazid ar-Raqasyi yang dikomentari ahli hadis bahwa ia adalah seorang yang selalu terobsesi dengan perbuatan ibadah serta kalimat-kalimat yang baik, namun sayang sekali ia tidak memiliki kemampuan mengetahui dan membedakan mana yang hadis dan mana yang bukan hadis (Ibnu Abi Hatim, al-Majruhin, vol. 3, hal. 98)

Selain dari sisi sanad-nya, hadis tersebut memiliki kejanggalan dari aspek matan (isi) nya. Kejanggalan tersebut karena ia bertentangan dengan kemahaadilan Allah.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved