Berita Nasional

Jaksa Agung ST Burhanuddin Dikritik Usai Wacana Hukuman Mati Bagi Para Koruptor Jiwasraya dan Asabri

Wacana hukuman mati untuk koruptor sempat dilontarkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin.

Editor: Slamet Teguh
KOMPAS.com/Firda Zaimmatul Mufarikha
Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin (tengah) saat ditemui di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (21/2/2020) 

Namun, kata dia, jaksa juga harus cermat dalam melakukan penyitaan atau perampasan, sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan.

"Hal itu memang benar-benar harus dilakukan secara transparan kepada masyarakat, yang udah disita itu berapa, gitu. Harus dikaitkan juga dengan proses penyitaannya, karena kan kemarin ada pihak ketiga yang beritikad baik dimenangkan gugatannya," katanya.

"Jadi sebaiknya proses penyitaannya harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat, bagaimana sebetulnya. Jadi jangan kita gebar-geber di proses penyitaannya saja tapi jumlahnya berapa dan apakah betul itu milik tersangka atau dibeli oleh tersangka dengan uang korupsi?" tambah Yenti.

"Jangan seperti BLBI toh, yang penyitaan berapa hektar ini loh, tapi ternyata status tanahnya berbeda. Satgas BLBI dengan bangganya bilang ini itu, iya tau, tapi status tanahnya itu tanah apa? Kalau status tanahnya tanah garapan itu jelas dagelan!" katanya.

"Menyita tanah tapi ternyata punya pemerintah sendiri. Kita harus mengedukasi masyarakat, mereka tidak tahu terus masih dibohongi. Itu kan nggak boleh juga, nggak bagus lah. Jadi semuanya harus trasparan," tanbahnya.

Baca juga: Para Koruptor di Kasus Jiwasraya-Asabri Disebut Bakal Dihukum Mati Oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin

Baca juga: ICW Sebut Keinginan Jaksa Agung Hukum Mati Para Koruptor Hanya Jargon Politik

Yenti pun mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung dalam kasus eks jaksa Pinangki Sirna Marasari yang masih terdapat ketidakadilan.

"Terkait Pinangki, ya itulah setiap pertanyaan yang seharusnya disadari oleh kejaksaan agung dan para penegak hukum yang lain," katanya

"Jika mereka mengambil langkah-langkah yang 'tidak adil' bahkan karena orang tersebut bagian dari Korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal. Itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektif," tambahnya.

Apalagi menurutnya, Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegakan hukum yang seharusnya bisa menegakkan keadilan.

"Bahkan pejabat-pejabat tertentu menurut KUHP kalau dia melakukan tindak pidana maka harus ada pemberatnya, ini malah seakan-akan meringankan," kata Yenti.

"Jadi itu seperti duri dalam daging, mau ngomong gini, 'Halah yang kemarin gimana? Nah, sekarang kok ngomong begini,' orang kan jadi mencibir 'Dulu gimana, emang iya gitu?' gitu kan. Atau semakin ketahuan bahwa 'aduh' sekarang galak ya, tapi terhadap korpsnya sendiri yang harusnya diperberat malah enggak gitu. Nah diejek nantinya kan?” ujarnya.

Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti mengatakan bahwa yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi.

"Jadi perlu kerjasama semua pihak, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jangan membuat sistem yang membuat orang mau korupsi. Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, dipenjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana koruspi secara sitematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif dan legislatif," lanjutnya.

"Sebenarnya kalau jaksa menuntut setinggi-tingginya pidana mati, oke saja. Tapi kalau ngomong jaksa akan menghukum pidana mati itu, ya nggak bener. Nggak mungkin mereka menghukum kan? Jaksa hanya bisa menuntut setinggi-tingginya," kata Yenti.

Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan. "Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved