Berita Nasional

Jaksa Agung ST Burhanuddin Dikritik Usai Wacana Hukuman Mati Bagi Para Koruptor Jiwasraya dan Asabri

Wacana hukuman mati untuk koruptor sempat dilontarkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin.

Editor: Slamet Teguh
KOMPAS.com/Firda Zaimmatul Mufarikha
Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin (tengah) saat ditemui di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (21/2/2020) 

TRIBUNSUMSEL.COM - Kasus korupsi masih terus terjadi di Indonesia.

Kini, yang menjadi sorotan ialah kasus korupsi di Jiwasraya maupun Asabri.

Bahkan kini, muncul wacana hukuman mati terhadap para koruptor di kasus Jiwasraya maupun Asabri.

Wacana hukuman mati untuk koruptor sempat dilontarkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin.

Khususnya hukuman mati terhadap koruptor Jiwasraya maupun Asabri.

Opsi itu disampaikan mantan Kajati Maluku Utara itu dalam briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis, 28 Oktober 2021 lalu.

Terkait wacana hukuman mati koruptor Jiwasraya-Asabri, Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih mengatakan bahwa terkait dengan pidana mati, menurutnya bukanlah kewenangan jaksa agung.

Pasalnya kejaksaan hanya bisa melakukan penuntutan, namun yang memutuskan adalah majelis hakim.

"Kalau pidana mati itu kan urusannya bukan di jaksa agung, urusannya di hakimnya. Jaksa hanya menuntut kan, tapi apakah nanti bisa dilaksanakan atau tidak, atau dijatuhkan atau tidak itu tergantung hakim," kata Yenti kepada wartawan, Sabtu (30/10/2021)

Menurutnya, pidana mati memiliki sejumlah resiko yang harus diperhitungkan secara matang.

"Kita harus berhitung kalau seandainya uang para koruptor itu di luar negeri, nah itu ada perhitungannya tuh. Artinya kemungkinan kita agak susah meminta bantuan kepada negara lain, tolong rampaskan uang-uang koruptor ini, kecuali negara itu juga menerapkan pidana mati," katanya.

"Misalnya Indonesia menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, harta kekayaannya ada di Malaysia atau Singapura yang juga menerapkan hukuman mati sebagaimana beberapa negara yang juga demikian, kita minta bantuan ke sana itu oke saja," tambahnya.

Tapi, lanjutnya, kalau diterapkan pidana mati dan harta kekayaan yang disita ini belum selesai proses perampasannya, kemudian minta tolong ke negara yang tidak menganut pidana mati, biasanya ditolak.

"Karena 'nggak bisa, kan negara saya dan negara anda berbeda prinsip karena kami tidak lagi menganut pidana mati, namun negara anda menganut pidana mati'," ujarnya lagi.

Seharusnya dipahami bahwa kasus korupsi tidak hanya pada tindak pidananya saja, namun juga terkait erat dengan penyitaan aset hasil dari tindak pidana korupsinya seoptimal mungkin.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved