Perempuan Dalam Islam

Bolehkah Perempuan Minta Cerai Menurut Islam, Apa Hukum dan Alasan, Ini Dalil Alquran dan Hadist

Bolehkah perempuan minta cerai menurut Islam, apa hukum dan alasan berikut dalil Alquran dan Hadist atas persoalan ini.

Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
tribunsumsel.com/khoiril
Ilustrasi bolehkah perempuan minta cerai menurut Islam. 

1. Suami Tidak Mampu Memenuhi Hak Istri
Hak istri tersebut misalnya nafkah, dipergauli dengan baik, dan diberi tempat tinggal yang layak. Termasuk dalam kasus ini jika suami sangat pelit dan perhitungan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar istri.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mengatakan termasuk dalam hal ini jika suami tidak mau memberi nafkah istri baik karena tidak ada yang bisa dia berikan sebagai nafkah atau yang lain, sehingga seorang perempuan menjadi bimbang antara bersabar atau minta berpisah.

2. Suami Merendahkan Istri
Ini bisa saja dalam bentuk memukul, melaknat dan mencela istri, sekalipun tidak dilakukan berulang-ulang. Apalagi jika suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tanpa ada sebab syar’i yang mengharuskannya melakukan hal itu.

Islam melarang suami melakukan KDRT, baik secara verbal atau non verbal. Karena itu, istri berhak meminta cerai jika suami melakukan kekerasan yang jelas terlihat seperti ada bekas pukulan dan sebagainya walaupun tidak ada saksi.

3. Suami Pergi dalam Waktu yang Sangat Lama

Ini mengakibatkan istri menghadapai keadaan gawat darurat dengan sebab ditinggal suami. Lamanya kepergian tersebut hingga lebih dari enam bulan, sehinga dikhawatirkan terjadi fitnah yang menimpa istri. Sebagaimana hal itu diterangkan dalam al-Mughni.

Ibnu Qudamah berkata, “Imam Ahmad, yaitu Ibn Hanbal rahimahullah ditanya, ‘berapa lama bagi laki-laki menghilang dari keluarganya?” dia berkata, “Diriwayatkan enam bulan."

4. Suami Divonis Memiliki Penyakit Berbahaya
Penyakit tersebut bisa berupa penyakit yang menular, penyakit impoten, atau penyakit berbahaya lainnya.

5. Suami Fasik
Fasiknya suami sebab melakukan dosa-dosa besar, atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban fardu yang mana jika suami tidak melakukannya bisa menyebabkan kekafiran atau rusaknya akad nikah.

Saat istri sudah bersabar atas kelakuannya dan menasehatinya agar berubah namun suami tetap melakukan hal tersebut dan malah semakin parah, maka hukum istri meminta cerai adalah wajib untuk menjaga keluarganya, anak-anaknya, serta dirinya sendiri.

Cara Mengajukan Cerai Gugat

1. Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri/kuasanya) :
Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah (pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tentang tata cara membuat surat gugatan (pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
Surat gugatan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

2. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah :
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (pasal 73 ayat (1) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 32 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 jo pasal 73 ayat (1) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
Bila Penggugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan (pasal 73 ayat (3) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

3. Gugatan tersebut memuat :
- Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat.
- Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
- Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

4. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama, dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 66 ayat (5) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved