Perempuan Dalam Islam
Bolehkah Perempuan Haid Masuk Masjid, Ini Kata Ulama, Dan Cara Membedakan Darah Haid dan Istihadhah
Ustazah Isnawati, Lc, MA menjelasan terkait wanita haid masuk masjid ke masjid terjadi khilaf atau perbedaan pandangan di kalangan ulama.
Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUNSUMSEL.COM - Masih banyak masyarakat khususnya muslimah yang bertanya-tanya bolehkah perempuan haid masuk masjid dan belum tahu cara membedakan darah haid dan istihadhah.
Sebelum membahas mengenai Bolehkah Perempuan haid masuk masjid, ini kata ulama, juga cara membedakan darah haid dan istihadhah maka perlu tahu dulu apa itu haid.
Dikutip dari risalah Lembaga Permuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI), dijelaskan dalam Fiqih Islam istilah menstruasi disebut juga dengan kata “haid”.
Haid adalah masdar dari kata ha-dha, yahi-dhu, haidon, misalnya hadlatil mar’atu (perempuan itu sudah haid).
Secara bahasa haid adalah air yang mengalir.
Adapun menurut istilah syara’, haid ialah darah yang keluar dari ujung rahim perempuan ketika sehat, bukan semasa melahirkan bayi atau bukan semasa sakit. Dan darah tersebut keluar dalam masa yang tertentu.
Mazhab Maliki mendefinisikan haid adalah darah yang keluar pada perempuan dengan sendirinya pada waktu tertentu.
Sedangkan Mazhab Syafi’i mendefinisikan haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan di mana darah yang keluar bukan penyakit.
Selain darah haid yang keluar dari faraj wanita ada darah nifas dan istihadhah atau darah penyakit.
Nifas secara bahasa berarti melahirkan, sedangkan menurut istilah syara’ ialah darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah melahirkan (wiladah) dan sebelum melampui 15 hari dan malam dari lahirnya anak. Permulaan nifas itu dimulai dari keluarnya darah bukan dari keluarnya anak.
Sedangkan istihadhah menurut bahasa berarti mengalir, menurut istilah syara’ ialah apa-apa yang keluar dari kemaluan wanita pada waktu selain waktunya haid dan nifas dan bukan atas jalan sehat.
Haid dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak empat kali dalam dua ayat, sekali dalam bentuk fi ’l mudhari (yahid) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidh).
Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa sekelompok sahabat Nabi bertanya kepada Nabi tentang perilaku orang yang tidak mau makan bersama dan dan bergaul dengan istrinya di rumah ketika si istri haid. Maka turunlah ayat ini:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: haid itu adalah kotoran. Oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada mu, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orangorang yang mensucikan". (Q.S. Al-Baqarah: 222). (HR Sunan Ibnu Majah).
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, "Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh (hubungan suami istri)". (HR. Muslim).