Berita Pertanian
Petani di OKI Mulai Tertarik Terapkan Sistem Pertanian Organik
Melalui pertanian organik yang dilakukannya di lahan 2 hektare miliknya sejak setahun terakhir, Sugeng mengaku dapat menekan penggunaan pupuk kimia. I
TRIBUNSUMSEL.COM - Beberpa petani di Desa Simpang Heran, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, binaan perusahaan hutan tanam industri PT Bumi Andalas Permai membuka lahan tanpa membakar untuk mulai menerapkan sistem pertanian padi organik.
Ketua Kelompok Tani Wono Tirto Sugeng Riyanto mengatakan, dirinya tergugah menjalankan pertanian padi organik lantaran ingin mengembalikan kondisi lahan mengingat sudah terdegradasi akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Karena sering terbakar, lahan jadi tidak subur. Saya pikir harus dikembalikan dulu dengan cara pertanian organik. Tapi ini belum benar-benar organik, baru semi organik, mungkin beberapa tahun ke depan memang benar-benar lepas dari zat kimia," kata Sugeng saat acara Obrolan Pelepas Lelah Season 2 yang digelar Balitbang LHK Palembang dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisaris Daerah Sumatera Selatan.
Melalui pertanian organik yang dilakukannya di lahan 2 hektare miliknya sejak setahun terakhir, Sugeng mengaku dapat menekan penggunaan pupuk kimia. Ia pun mampu memproduksi sekitar 4 ton gabah kering giling per hektare, seperti halnya pertanian konvensional di daerahnya.
Lantaran dapat menekan biaya produksi, sejumlah petani di daerahnya pun mulai tertarik mengikuti jejaknya walau awalnya enggan karena tak mau ribet.
"Setidaknya sudah ada 10 petani yang mulai tanam secara organik. Lalu untuk menekan biaya, dibuat juga pupuk kompos bersama sehingga dapat memastikan ketersediaan pupuk organik," katanya.
Upaya pertanian organik ini juga mendapatkan dukungan dari perusahaan mitra pemasok APP Sinar Mas, PT Bumi Andalas Permai yang memberikan bantuan alat pertanian handtractor sehingga petani setempat tidak membuka lahan dengan cara membakar.
"Bisa dikatakan tidak ada lagi petani yang buka lahan dengan cara membakar di tempat kami. Setelah pakai semprotan herbisida, kami menggunakan handtractor untuk buka lahan," katanya.
Sementara itu Direktur Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan R Basar Manullang mengatakan, karhutla hingga kini masih menjadi ancaman bagi pelestarian alam lingkungan hidup di Indonesia.
"Kejadian karhutla hebat pada 2015 menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mengubah paradigma untuk penanganan karhutla, terutama dalam menghasilkan solusi permanen," katanya.
Salah satunya yakni menata ekosistem gambut. Berdasarkan data diketahui dari total lahan terbakar itu sebanyak 54 persen terjadi di kawasan gambut. Sementara Indonesia memiliki sekitar 20 juta Ha yang tersebar di Sumatera, Kalimatan dan Papua.
Pemerintah pun memiliki atensi pada kawasan gambut ini, salah satunya dengan melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Untuk di Sumsel dan Jambi selama 15 hari melakukan TMC, sejak 20 Juni 2020 untuk meningkatkan curah hujan demi meninggikan tinggi muka air gambut.
Pelaksanaan TMC ini dilakukan KLHK dengan menggandeng BPPT, BMKG, BPBD, TNI AU dan perusahaan mitra pemasok APP Sinar Mas
"Upaya pengendalian karhutla harus dilakukan bersama dan butuh kerja keras. Perubahan mendasar yakni mengutamakan pencegahan daripada penanganan, dan pentingnya pelibatan masyarakat," katanya.
Data karhutla KLHK menyebutkan sebanyak 35.231 hektare terbakar pada Januari-Mei 2020, sementara pada periode yang sama terjadi penurunan 9,13 persen yang mana terindenfikasi sebanyak 54 persen terjadi di gambut.
