Cerita Mahasiswa Indonesia di India, Covid-19 Mengganas, Ambulans Berlalu-lalang, RS Kewalahan

Rumah sakit mulai kewalahan, tersiar kabar penjarahan tabung oksigen, dampak masyarakat abai terhadap protokol kesehatan

Editor: Wawan Perdana
Tribunsumsel.com/unsplash
Ilustrasi Covid-19/ India negara berpenduduk 1,3 miliar ini dalam kondisi terburuk karena dilanda serangan baru Covid-19. 

Arif mengatakan dirinya melihat "fenomena unik" di mana kelompok masyarakat dari kasta atas, dari kelompok kaya dan elite, "sepertinya boleh melanggar protokol kesehatan".

"Karena mereka merasa sudah hebat, berasal dari kelompok sosial yang tinggi, mereka merasa bisa melakukan apa saja," kata Arif yang mengambil jurusan hukum.

Menghadapi situasi seperti ini, Arif dan beberapa mahasiswa Indonesia di Rajkot, berusaha hati-hati dengan selalu menaati protokol kesehatan.

"Kami tahu, kami sadar Covid-19 ini sangat berbahaya, kami mematuhi protokol, tapi lagi-lagi saya melihat mahasiswa lain kurang serius," katanya.

Yang membuatnya khawatir adalah ia tinggal di asrama yang dekat dengan gedung yang dipakai untuk menampung orang-orang yang sedang menjalani isolasi karena terkena Covid-19.

"Dan mereka dibiarkan keluar (dari gedung) ... sepertinya mereka menganggap Covid-19 itu nothing (tak ada bahayanya)," kata Arif.

"Dua teman satu kamar saya terkena Covid-19 dan harus isolasi (di gedung di depan asrama) dan mereka dibolehkan lalu-lalang," kata Arif.

"Merasa sudah menang lawan pandemi"

Situasi berbeda dirasakan oleh mahasiswa Indonesia di Delhi, Mohd Agoes Aufiya.

Agoes mengatakan karantina wilayah dan sejumlah pembatasan -- yang diberlalukan lagi mulai hari Minggu (18/4/2021) -- ditaati warga di kota ini.

"Semua warga tinggal di rumah, tidak ke mana-mana, kecuali bagi mereka yang punya alasan valid untuk keluar rumah," kata Agoes.

"Toko yang menyediakan kebutuhan bahan pokok buka, tapi toko-toko yang menjual bahan atau produk nonesensial tutup ... toko sepatu atau toko ponsel, itu tutup," katanya.

Ia mengatakan secara umum warga di Delhi mematuhi protokol kesehatan, misalnya mengenakan masker.

"Mungkin sekitar 95 persen pakai masker, tapi ya tetap saja masih ada yang tidak mengenakan masker. Saya merasa ketakukan atau kekhawatiran (warga) tidak seperti saat gelombang pertama," kata Agoes, mahasiswa doktoral jurusan hubungan internasional ini.

"Ketika itu orang-orang pakai masker, pakai sarung tangan, pakai face shield dan menerapkan jaga jarak. Tapi dengan berjalannya waktu, mungkin karena merasa sudah menang (melawan pandemi virus corona), karena angka kasus memang sempat turun di bulan November, Desember, Januari, Februari, mungkin membuat kekhawatiran atau ketakutan warga tidak sebesar dulu," kata Agoes.

Halaman
1234
Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved