Kisah di Makam Mbah Datuk Banjir Penggagas 'Lubang Buaya', Anjuran Khusus untuk Aparat yang Datang
Mbah Datuk Banjir dikenal sebagai alim ulama dan pejuang melawan penjajahan Belanda pada abad ke 7 silam.
"Di sini kan amanah, bukan profesi. Makannya saya benar-benar menertibkan banget orang yang pada ziarah," lanjut Yanto.
Selain makam Mbah Datuk Banjir, di area makam terdapat delapan pusara keturunan Mbah Datuk Banjir yang jadi juru kunci makam.
Tapi hanya makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah yang dikeramatkan, lokasinya berada dalam satu ruang dengan lebar sekitar 3 meter dan panjang 4 meter.
Untuk memasuki ruang makam Mbah Datuk Banjir yang terdapat satu kelambu, dan dua guci di bagian kanan dan kiri peziarah harus lebih dulu menemui Yanto pemilik kunci ruangan.
"Kalau pusaka Mbah Datuk Banjir ada di ruang lain, tapi enggak boleh diambil foto. Kalau kereta kuda di bagian belakang dulu digunakan untuk transportasi membawa hasil tani," ucap dia.
Bertarung dengan Buaya Siluman
Ia mengatakan pencetusan nama Lubang Buaya itu berawal saat leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad 7.
"Menurut cerita kake knenek saya, sebelum sampai kemari melakukan perjalanan melalui rute Kali Sunter. Mengendarai kendaraan dari bambu, disebut getek kalau enggak salah," kata Yanto.
Dalam perjalanannya itu, getek yang digunakan Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah seolah tersedot ke lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter.
Namun, Mbah Datuk Banjir tidak sampai terseret ke lubang, dia berhasil tiba di daratan.
"Memang di Kali Sunter itu ada penguasanya zaman dulu. Ya selain buaya-buaya biasa ada penguasa gaib yang disebut siluman buaya putih," ujarnya.
Merujuk keterangan leluhurnya, buaya putih penguasa Kali Sunter tersebut dikisahkan bernama Pangeran Gagak Jakalumayung yang memiliki anak berjuluk Mpok Nok.
Mpok Nok berwujud buaya tanpa ekor atau disebut warga buaya buntung.

Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pun lalu berkelahi dengan keduanya.
"Mbah Datuk Banjir kan datang kemari sebagai pendatang. Masuk di kampung ini berhadapan dengan halangan-halangan daripada jin, penguasa Kali Sunter. Akhirnya bisa ditaklukkan dan akhirnya bisa dijadikan, bahasa kasarnya santrinya lah," tuturnya.