Berita Politik
Isu Jabatan Presiden Jadi 3 Periode, Direktur LIMA Ray Rangkuti Ungkap Sulit, Ini Alasannya
Partai politik (Parpol) juga belum tentu suka rencana itu, karena jelas bukan untuk kepentingan mereka.
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Isu yang dilontarkan mantan ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) RI sekaligus pendiri partai Ummat Amin Rais terkait wacana presiden hingga tiga periode dengan mengamandemenkan UUD 1945, dinilai akan mengalami penolakan sejumlah pihak baik partai politik maupun pegiat pemilu, HAM, Korupsi, Lingkungan Hidup hingga Akademis.
Menurut Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti, terdapat tiga pertimbangan yang ada dalam penolakan itu, yaitu pertimbangan jika dilihat dari aspek teknis, aspek politik,
dan aspek ideal.
"Jika dilihat dari aspek teknis, wacana jabatan presiden tiga periode itu, jika dibahas dari sekarang saya rasa akan sulit, sebab untuk membahas satu pasal dalam UUD itu guna diamandemenkan, minimal dibutuhkan waktu dua tahun," kata Ray, Selasa (16/3/2021).
Ray menerangkan, dengan waktu terbilang panjang itu, sehingga bukan pekerjaan waktu yang mudah dan harus ada sosialisasi ke masyarakat berbagai sektor, dan dilibatkan semua komponen masyarakat dan sebagainya.
"Pertanyaannya, apakah mungkin bisa dilakukan dalam dua tahun ini, saat dimana kita justru gencar- gencarnya menghadapai masalah covid-19 dan ekonomi yang turun karena taraf yang sulit dalam menghadapi covid-19, tiba- tiba dihadapkan juga dengan revisi amandemen UUD terhadap massa periode jabatan Presiden," jelasnya.
Baca juga: Hanya Kunci Pintu Lupa Kunci Setir, Mobil Pria Muda Asal Lampung Hilang di Palembang
Baca juga: Kampung Sungai Jawi Jadi Kampung Agro Wisata Edukasi, Ternyata Ini Yang Dilakukan Warga
Dalam pertimbangan aspek politik diungkapkan Ray, partai politik (Parpol) juga belum tentu suka rencana itu, karena jelas bukan untuk kepentingan mereka. Seperti partai Gerindra akan dirugikan jika amandemen itu dilakukan temasuk partai Golkar dirugikan maupun parpol lainnya yang memiliki figur.
"Kenapa menolak? Kalau tiga periode masa presiden diberlakukan, pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) yang masih menjabat otomatis kembali maju, sehingga Prabowo (Ketum Gerindra) dan Airlangga (Ketum Golkar) kehilangan momennya. Oleh karena itu, Prabowo yang saat ini dalam keaadaan memuncak hasil surveinya, dibanding kandidat lainnya dalam elektabilitas beberapa survei diluar Jokowi, akan berpikir bagaimana ia akan memberikan kesempatan kepada orang lain padahal saya (Prabowo) paling mungkin untuk menjadi presiden nantinya, dan saya kira begitu," ungkapnya.
Terakhir dalam pertimbangan ideal, Ray menyatakan hampir tidak ditemukan di negara demokratis saat ini, masa jabatan kepala negaranya hingga tiga periode dan umumnya dua periode.
"Jika sampai tiga periode (Jabatan presiden) itu negara- negara demokratis jarang mengnutnya. Kenapa harus dua periode? karena kecenderungan kekuasaan yang korup itu mengental sampai tiga periode," tuturnya.
Selain itu, Indonesia dengan jumlah penduduk yang berkisar 270 juta dan wilayah politiknya tinggi, memang membutuhkan jabatan terbatas setiap orang, sehingga sirkulasi kepemimpinan itu berlangsung baik, dengan melingkupi semua partisipasi orang.
"Jadi kekuasaan tidak terbatas ke ia saja, tapi kemana- mana," capnya.
Ditambahkan Ray, kepuasan terhadap kepemimpinan Jokowi juga saat ini juga tidak terbilang bagus ditengah masyarakat, dan bisa menjadi sikap resistensi (melawan) ke Jokowi juga akan menguat, ini terlihat dari survei- survei elektabilitas Jokowi pun sering turun sejauh ini.
"Jadi kalaupun tiga periode, belum tentu juga Jokowi akan menang kalau dilihat dari berbagai survei, yang membuktikan ketidaksukaan ke Jokowi itu juga meningkat," tuturnya.
Penurunan kepercayaan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta itu, khususnya dijelaskan Ray dari pegiat demokrasi, HAM, Lingkungan Hidup, Akademisi, hingga pegiat anti korupsi makin banyak. Dimana pegiat- pegiat ini menyatakan terbuka kritik mereka ke Jokowi.
“Jadi sekalipun itu diloloskan, tidak mudah bagi pak Jokowi mendapatkan suara masyarakat ditengah ketidakpuasaan yang meluas terhadap Jokowi, khususnya dikalangan tadi," paparnya.
Ia pun mengungkapkan meskipun para pegiat itu tidak memiliki basis masa, namun jangan lupa kelima kelompok pegiat itu diikuti publik, yang bisa mempengaruhi mereka (masyarakat) efektif untuk menaikan atau menurunkan popularitas seseorang.
"Jangan lupa, Jokowi jadi presiden juga karena ada bantuan mereka akademisi, pegiat korupsi dan pegiat lain yang menyuarakan ke masyarakat, namun itu yang justru yang hilang di pak Jokowi sekarang. nah, sementara dilima sektor pegiat ini, justru sedang mencari figur- figur baru untuk dinaikan elektabilitasnya jelang pemilu 2024 yang akan datang, karena sudah banyak kecewa Jokowi khususnya diperiode kedua ini," tandasnya.
Dilanjutkan Ray, ia tidak yakin parpol yang ada untuk menyetujui dilakukan amandement itu karena tidak akan menguntunya.
"Aku tidak bisa membayangkannya (terjadi amandement), karena potensialnya kecil sekali untuk tiga perode jabatan, karena akan banyak ditolak pijhak baik parpol maupun pegiat tadi. Terbayang oleh saya jika lolos hanya sekitar 20 persen, namun ditolaknya 80 persen, masah saya banyangi yang 20 pesen tadi," pungkasnya.
Sebelumnya, isu tentang perpanjangan jabatan presiden 3 periode kembali berembus.
Kabar ini datang dari mantan ketua MPR RI sekaligus pendiri Partai Ummat, Amien Rais, yang menyebut bahwa ada skenario mengubah ketentuan dalam Undang Undang Dasar 1945 soal masa jabatan presiden dari 2 periode menjadi 3 periode.
Menurut Amien, rencana mengubah ketentuan tersebut akan dilakukan dengan menggelar Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna mengubah atau mengamendemen UUD 1945.