Mengenal Likuran di Palembang di Bulan Ramadan, Tradisi yang Hampir Punah
Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur menyambut di mulainya malam Seribu Bulan atau yang dikenal Lailatul Qadar, yang sangat di nantikan Umat Islam.
Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Weni Wahyuny
Ia pun menceritakan, pada tahun 1950-an,
tradisi Likuran di kota Palembang pernah menjadi hari yang di tunggu-tunggu oleh masyarakat. Bahkan diadakan secara besar-besaran.
Tradisi ini dilaksanakan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan yaitu hari ke 21, 23, 25, 27 dan ke 29 yang disebut Selikur, Tigalikur, Limalikur, Tujuh Likur dan Sembilan Likur. Acara Likuran diselenggarakan selama lima kali dibulan ramadaan.
Isi tradisi dari likuran yang dilaksanakan di Palembang terdiri dari :
Pertama, melaksanakan sholat Maghrib, Isya dan Tarawih berjamaah, dilanjutkan dengan zikir dan doa bersama guna mengharapkan kemuliaan malam Seribu Bulan atau Lailatul Qadar.
Kedua, "Maleman" yaitu memasang lampu yang disebut lampu colok dan juga lampu dari kulit kerang besar, dengan menggunakan sumbu yang terbuat dari kumpe (eceng gondok) yang isinya dikeringkan.
Kemudian lampu tersebut diletakkan di depan rumah, jumlah lampu itu sendiri tidak tentu, tergantung dari besarnya rumah, tetapi yang pasti jumlah lampu haruslah ganjil.
Lalu dilaksanakan acara saling berkunjung ke rumah tetangga, atau di daerah Palembang disebut dengan sanjo- sanjoan, saling melihat dan mengagumi lampu di setiap rumah. Pelaku acara ini adalah anak anak dan remaja perempuan.
Ketiga, adanya penampilan atau atraksi. Setiap kampung atau dalam istilah Palembang di sebut "Guguk" menyelenggarakan penampilan atau atraksi sesuai dengan apa yang ada di kampung tersebut.
Contoh nya di Guguk Tuan Kapar di kawasan 14 Ulu melaksanakan pagelaran silat dan kuntau, yang kadang-kadang diselingi dengan pertandingan antar pesilat.
Selanjutnya di Guguk Sungi Kangkang dikawasan 13 Ulu menampilkan pertunjukan Musik Orkes Melayu yang lengkap, yang mana merupakan hiburan yang sangat menarik hati pada jamannya.
Lalu di Guguk Pedatuan di kawasan 12 Ulu Seberang Ulu ada tradisi Rebana atau di Daerah Palembang di sebut dengan "Terbangan".
Banyak lagi penampilan menarik dari Guguk Sungi Rasu di kawasan 11 Ulu, Guguk Pindah Rawang di Kawasan 8 Ulu, Guguk Kedemangan dan Kenduruan di 7 Ulu, Guguk Kedukan di kawasan 5 Ulu dan Guguk Pesaguan di kawasan 16 Ulu.
"Yang paling menarik perhatian adalah penampilan dari Guguk Sungi Aur di kampung 9 dan 10 Ulu, yang merupakan kampung halaman saya," cetusnya.
Ia pun menceritakan, bahwa Guguk Sungi Aur ini menampilkan sebuah legenda yang berjudul "
"Jula Juli Bintang Tiga" yaitu parade sebuah kereta kencana yang berbentuk angsa.
Di dalam angsa tersebut ada Peri yang memegang bintang terbuat dari kayu dicat warna kuning. Parade ini dimulai dari Kawasan Tangga Takat di kawasan 16 Ulu sampai ke Kertapati.
Menurutnya, ada satu hal yang menarik pernah dulu yang duduk di kereta kencana angsa tersebut adalah seorang artis DR H Anwar Fuady SH MH, Ketua Parsi dan Artis Senior dimana ketika itu Beliau baru berumur sekitar 7 tahun.