Pemkab Lahat Tinggalkan BPJS Kesehatan

Warga Palembang Ingin Pindah ke Lahat, Tahu Pemkab Gratiskan Pengobatan & Tinggalkan BPJS Kesehatan

warga Palembang, menanyakan, kapan kebijakan yang sama dilakukan oleh Pemkot Palembang meniru Pemkab Lahat yang keluar dari BPJS Kesehatan

TRIBUNSUMSEL.COM/ Ehdi Amin
Pemkab Lahat Tinggalkan BPJS Kesehatan 

Warga Palembang Ingin Pindah ke Lahat, Tahu Pemkab Gratiskan Pengobatan & Tinggalkan BPJS Kesehatan

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Kabar Pemerintah Kabupaten Lahat yang tak lagi menjadi peserta dalam kepesertaan BPJS Kesehatan mengundang reaksi masyarakat.

Banyak masyarakat mendukung kebijakan Pemkab Lahat yang keluar dari peserta BPJS Kesehatan.

Langkah berani yang diambil Pemkab Lahat, keluar dari kepersertaan BPJS Kesehatan, disambut baik oleh warga.

Bahkan warga dari luar ingin pindah beramai ramai ke Lahat.

Dikutip dari Sripoku.com, Herman salah seorang warga Palembang, menanyakan, kapan kebijakan yang sama dilakukan oleh Pemkot Palembang meniru Pemkab Lahat yang keluar dari BPJS Kesehatan ?

Bahkan ia, rela untuk pindah ke Lahat.

BPJS Kesehatan Akan Bertemu Gubernur Menyikapi Kebijakan Pemkab Lahat Tinggalkan BPJS

"Pindah ke Lahat saja sepertinya," kata Herman, Jumat (3/1/2020)

Budi warga lainnya ikut berkomentar, menurut dia, langkah yang diambil oleh Pemkab Lahat patut diiukuti oleh daerah lainnya.

"Kalau memang betul, provinsi lain juga harus ikut," kata dia.

Diketahui, Pemkab Lahat, mengalihkan program berobat gratis melalui BPJS Kesehatan, dengan KTP dan Kartu Keluarga (KK).

Tahun 2020 ini Pemkab Lahat meninggalkan layanan BPJS Kesehatan.

Untuk mengcover warganya, Pemkab Lahat memberlakukan program berobat gratis.

Warga cukup menggunakan KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Selama ini Pemkab Lahat menggunakan BPJS Kesehatan untuk layanan kesehatan bagi warganya

Peralihan ini dikarenakan, naiknya iuran dari BPJS Kesehatan.

Wakil Bupati Lahat Haryanto membenarkan, masyarakat Lahat yang ingin berobat, saat ini cukup menggunakan KTP dan KK.

Meskipun tidak menggunakan BPJS Kesehatan, bagi masyarakat yang terpaksa rawat jalan ke RSMH Palembang juga tetap bisa menggunakan KTP dan KK.

"Walau harus dirujuk ke Palembang, juga bisa. Nanti ada petugas yang kita tunjuk yang mengurusnya. Jadi nanti RS rujukan, langsung klaim ke Pemkab Lahat," ujar Haryanto, Jumat (3/1).

Dari data Dinas Kesehatan Lahat, setidaknya tahun 2018 ada 168.385 jiwa terdaftar dalam BPJS Kesehatan.

Tahun 2019 jumlah tersebut meningkat hingga 200 ribu jiwa.

Dengan biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 46 miliar.

Angka tersebut dipastikan membengkak jika program berobat gratis menggunakan BPJS Kesehatan.

"Kalau menggunakan KTP dan KK, cukup bagi yang sakit saja yang kita bayar,"

"Kalau selama ini kan, warga yang sakit atau tidak, kita harus bayar iuran. Lebih baik uang tersebut kita gunakan untuk keperluan lain masyarakat," ucap Haryanto.

Reaksi Warga

Keputusan Pemkab Lahat meninggalkan BPJS Kesehatan ini mendapat respon dari warganet

Melalui fanspage Tribun Sumsel pengguna facebook menuliskan banyak komentar

Ada yang memuji langkah Pemkab Lahat namun adapula yang tidak setuju

Berikut beberapa komentar yang Tribunsumsel.com rangkum

Seperti yang ditulis akun Edy Hariyanto ia menilai keputusan Pemkab Lahat ini adalah langkah tepat.

"Langkah yg tepat... Karena asuransi kesehatan bukan Bpjs saja. Asuransi kesehatan swasta dan asing masih banyak yg bagus dng kwalitas layanan yg tidak bertele tele"

Akun Agnes Tobing meminta Pemkab Lahat benar-benar memegang janjinya untuk mengcover kesehatan warga Lahat setelah tak lagi menjadi peserta BPJS Kesehatan

"Pegang kata2mu pak,klo ada rakyatmu hrs di rujuk operasi jantung,cuci darah, tanggung sepenuhnya pemkab Lahat ya"

Rincian Kenaikan

Per 1 Januari 2020, iuran Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi naik.

Iuran BPJS Kesehatan naik untuk menambal defisit yang makin membesar.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019.

Kenaikan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) tersebut untuk seluruh segmen peserta BPJS:

1. Penerima Bantuan Iuran (PBI), iuran naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per jiwa.

Besaran iuran ini juga berlaku bagi Peserta yang didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD). Iuran PBI dibayar penuh oleh APBN, sedangkan Peserta didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD) dibayar penuh oleh APBD.

2. Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/POLRI,

Semula besaran iuran adalah 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga, dimana 3% ditanggung oleh Pemerintah dan 2% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan, diubah menjadi 5% dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah, dengan batas sebesar Rp 12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemerintah dan 1% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan.

3. Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU),

Semula 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 8 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja, diubah menjadi 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja.

4. Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU)/Peserta Mandiri:

Kelas 3: naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa;
Kelas 2: naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa;
Kelas 1: naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per jiwa.

Defisit neraca BPJS Kesehatan yang makin membesar menjadi dasar pemerintah menaikkan iuran BPJS.

Catatan Kementerian Keuangan, sejak tahun 2014, program JKN terus mengalami defisit. Besaran defisit JKN sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah masing-masing sebesar Rp 1,9 triliun (2014), Rp 9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp 13,8 triliun (2017), dan Rp 19,4 triliun (2018).

Dalam rangka membantu mengatasi defisit ini, pemerintah melakukan intervensi dengan memberikan Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun (pada tahun 2015) dan Rp 6,8 triliun (2016), serta memberikan bantuan belanja APBN sebesar Rp 3,6 triliun (2017) dan Rp 10,3 triliun (2018).

Intervensi pemerintah dalam bentuk PMN maupun bantuan belanja APBN itu sendiri belum dapat menutup keseluruhan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, sehingga masih menyisakan defisit sebesar Rp 1,9 triliun (2014), Rp 4,4 triliun (2015), Rp 10,2 triliun (2017), dan Rp 9,1 triliun (2018).

Tanpa kenaikan iuran, besaran defisit DJS Kesehatan akan terus naik, diperkirakan akan mencapai Rp 32 triliun di tahun 2019, Rp 44 triliun (2020), Rp 56 triliun (2021), dan Rp 65 triliun (2022). (SP/ Ehdi Amin/Kontan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved