Berita Muratara

Aktivitas Suku Anak Dalam Tinggal di Kebun, Bertahan Hidup Dengan Memungut Buah Sawit & Berburu Babi

Aktivitas Suku Anak Dalam Tinggal di Kebun, Bertahan Hidup Dengan Memugut Buah Sawit & Berburu Babi

Penulis: Rahmat Aizullah |
Tribun Sumsel / Rahmat Aizullah
Warga Suku Anak Dalam yang bermukim di kawasan perkebunan sawit di Desa Mandi Angin, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Muratara, Kamis (5/12/2019). 

TRIBUNSUMSEL.COM, MURATARA - Suku Anak Dalam adalah Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang tinggal di hutan dengan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah.

Populasi suku minoritas ini masih banyak terdapat di wilayah perbatasan antara Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi.

Sekelompok orang yang biasa disebut Orang Rimba ini selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Perpindahan itu terpaksa mereka lakukan untuk mencari makan agar bisa bertahan hidup.

Kamis (5/12/2019), Tribunsumsel.com menjumpai sekelompok Suku Anak Dalam di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara).

Warga Dimakan Harimau, Saat Ditemukan Saksi Lihat Harimau Masih di Dekat Jasad Yudiansyah

Mereka bermukim di tengah-tengah perkebunan sawit di Desa Mandi Angin, Kecamatan Rawas Ilir.

Suku Anak Dalam yang tinggal di kawasan itu sekitar 35 kepala keluarga (KK), berjumlah 100 orang lebih.

"Di sini kami ada sekitar 35 KK, kira-kira 100 orang lah," kata Ketua Kelompok Suku Anak Dalam, Raksa.

Ia mengaku sudah 6 tahun lebih bermukim di antara pepohonan kelapa sawit itu bersama Suku Anak Dalam lainnya.

Mereka berasal dari beberapa wilayah di Kabupaten Muratara Sumsel dan Kabupaten Sarolangun Jambi.

"Kami di sini hanya mencari makan, kalau kami diusir, kami mau cari makan di mana," ujar Raksa.

Ia mengatakan, mata pencaharian mereka sehari-hari ialah memunguti biji sawit yang terlepas dari tandannya.

Mereka menyebutnya 'berondolan', yakni mengumpulkan biji sawit yang berserakan setelah dipanen.

"Berondolan ini untuk dijual, uangnya untuk beli makan dan keperluan sehari-hari," ujarnya.

Selain itu, kegiatan mereka juga berburu babi hutan dan hewan-hewan lainnya untuk dimakan.

Terkadang hasil buruannya dijual kepada pengepul yang datang sebagai tambahan penghasilan.

Di lokasi permukiman Suku Anak Dalam tersebut terdapat puluhan gubuk yang terbuat dari terpal.

Gubuk-gubuk ini merupakan tempat tinggal mereka untuk berlindung dari terik matahari dan hujan.

Jauh dari kata layak, hanya beralaskan tanah dengan atap dan dinding seadanya.

Jika terjadi hujan, anak-anak mereka pastinya kedinginan, namun mereka mengaku sudah terbiasa dengan segala cuaca.

Tertunduk Lesu, Tiga Tersangka Korupsi Pembangunan Gudang Beku Muba Resmi Ditahan

"Sudah biasa kami di sini, panas, dingin, sudah terbiasa," kata warga Suku Anak Dalam lainnya, Wati.

Pola hidup yang tidak sehat dengan berbagai macam isi hutan yang mereka makan setiap harinya.

Ditambah lagi kondisi lingkungan yang kotor tentu bisa membuat mereka rentan terserang berbagai penyakit.

Apalagi sumber air yang mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari pun tergolong kotor.

Mereka memanfaatkan air dari parit drainase perkebunan sawit dengan kondisi airnya berwarna kecoklatan.

Wati menambahkan, sebagian anak-anak mereka saat ini sudah disekolahkan oleh pemerintah.

Anak-anak usia sekolah sudah mendapatkan pendidikan gratis di Asrama Dinas Sosial Kabupaten Muratara.

Sebelumnya kata Wati, anak-anak Suku Anak Dalam tidak ada yang duduk di bangku sekolah.

Sehari-hari mereka ikut orangtuanya menelusuri setiap lorong perkebunan sawit untuk mencari makan agar tidak kelaparan.

"Tidak ada yang sekolah dulunya, karena mau sekolah jauh, kami juga tidak punya biaya," katanya.

Ia bersyukur sekarang Pemerintah Kabupaten Muratara memiliki program sekolah gratis untuk anak-anak Suku Anak Dalam. (cr14)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved