Cerita Kompol dr Mansuri Dokter Forensik RS Bhayangkara Palembang: Setiap Otopsi Selalu Minta Izin

Hanya ada dua orang, salah seorangnya Kompol dr Mansuri SpF yang bertugas di Kedokteran Forensik RS Bhayangkara Palembang.

Penulis: M. Ardiansyah | Editor: Prawira Maulana
M ARDIANSYAH/TRIBUNSUMSEL.COM
Kompol dr Mansuri. 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Dokter Forensik yang ada di Sumsel tidaklah banyak.

Hanya ada dua orang, salah seorangnya Kompol dr Mansuri SpF yang bertugas di Kedokteran Forensik RS Bhayangkara Palembang.

Sejak lulus sebagai dokter forensik 2010 di Undip Semarang, bapak dua anak ini langsung mengabdikan dirinya untuk menangani jenazah yang meninggal tidak wajar.

Menurut suami dari dr Eka Intan Fitriana SpA(K) Mkes ini, ia terpikir untuk mengambil kedokteran forensik karena memang kedokteran forensik belum terlalu banyak.

Selain itu, menjadi dokter forensik juga menantang lantaran berhadapan dengan jenazah yang terkadang meninggal tidak wajar.

"Alhamdulillah, selama bertugas sebagai dokter forensik tidak pernah terjadi hal-hal aneh. Karena saya berprinsip, mau menolong dan bukan menyakiti. Sebelum visum atau otopsi juga, saya berdoa dan meminta izin kepada yang punya badan," ujarnya ketika ditemui Tribun Sumsel, Kamis (28/11/2019).

Pria lulusan FK UNSRI angkatan tahun 1994 ini mengungkapkan, banyak kasus yang berkaitan dengan jenazah.

Ada jenazah yang mati tidak wajar setelah diotopsi atau visum, bisa diketahui penyebab kematiannya dan dengan petunjuk itu penyidik juga bisa mengambil langkah untuk mengungkap kasusnya.

Tetapi, tak jarang juga mengalami kesulitan ketika ada jenazah yang datang untuk dilakukan visum atau otopsi.
Kesulitan bila ada jenazah yang tanpa identitas atau datang hanya tinggal kerangka. Terlebih, tidak ada masyarakat yang melapor telah kehilangan anggota keluarga.

Sehingga, untuk mencocokan hasil visum atau otopsi dengan keluarga sangat sulit.

Karena, belum ada bahan pembanding antara jenazah dan juga pembandingan.

Begitu pula bila yang datang jenazah yang sudah membusuk atau memang tinggal kerangka, itu akan lebih sulit lagi untuk mengungkapnya termasuk penyebab kematian dari si jenazah.

"Contoh saja M Pansor, anggota DPRD Lampung pada tahun 2016 lalu. Diterima hanya tinggal tengkorak dan beberapa bagian tubuh yang sudah tidak utuh lagi. Awalnya kesulitan untuk mengungkapnya, tetapi alhamdulillah setelah ada anggota keluarganya akhirnya tahu identitasnya. Kasusnya juga terungkap," ceritanya.

Pria lulusan Pendidikan Perwira Sumber Sarjana tahun 2004 ini juga mengungkapkan, jalan yang diambilnya sebagai dokter forensik sudah menjadi pilihannya.

Selain tugasnya menantang, juga membutuhkan ketelitian saat berhadapan dengan jenazah yang mati tidak wajar.

Ketelitian ketika mengindentifikasi jenazah sangat diperlukan. Hal itu, dianggap perlu lantaran bila tidak teliti dan jeli dengan kondisi jenazah maka penyidik juga akan kesulitan untuk melakukan penyelidikan terkait sebab meninggalnya jenazah tersebut.

Hal-hal lain yang ada di jenazah tersebut, biasanya juga bisa menjadi petunjuk bagi penyidik untuk mengungkap dan menganalisa kasus yang terjadi di jenazah tersebut.

"Sukanya banyak kalau di kedokteran forensik ini, bila suatu jenazah yang tidak diketahui identitasnya setelah di otopsi akhirnya terungkap. Tetapi dukanya terkadang, kita meminta keluarga untuk otopsi tetapi keluarga menolak. Tetapi setelah dimakamkan baru meminta otopsi, itu yang membuat kasihan jenazah. Itu salah satu dukanya," ungkapnya.

Terlepas itu semua, menurut dr Mansuri masyarakat juga harus lebih mengerti.

Betapa pentingnya dilakukan otopsi bila ada keluarga yang meninggal tidak wajar. Karena, dengan otopsi itulah bisa mengungkap penyebab kematian dari jenazah tersebut.

Karena, bila hanya dilakukan pemeriksaan luar saja atau visum, maka sangat kecil kemungkinan untuk mengetahui penyebab pasti kematian jenazah tersebut.

Edukasi otopsi juga harus diketahui masyarakat, karena bukannya membuat jenazah menjadi rusak atau tersiksa, akan tetapi untuk mengungkap penyebab kematiannya.

"Tetapi, untuk otopsi itu memang harus ada persetujuan keluarga. Bila keluarga tidak setuju, kami dokter tidak bisa memaksa. Namun, biasanya bila ada jenazah datang dan kami anggap meninggalnya tidak wajar, biasanya kami sarankan untuk otopsi ke pihak keluarga. Tujuannya hanya satu, mengungkap penyebab kematian korban itu sendiri," pungkas dosen FK UNSRI dan Muhammadiyah ini.(ard)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved