Satu Tahun Tragedi Kecelaan Pesawat Lion Air, Ahli Waris Belum Terima Uang Santunan Rp 1,25 Miliar

Satu Tahun Tragedi Kecelaan Pesawat Lion Air, Ahli Waris Belum Terima Uang Santunan Rp 1,25 Miliar

Grafis Tribunnews
Satu Tahun Tragedi Kecelaan Pesawat Lion Air, Ahli Waris Belum Terima Uang Santunan Rp 1,25 Miliar 

TRIBUNSUMSEL.COM - Satu Tahun Tragedi Kecelaan Pesawat Lion Air, Ahli Waris Belum Terima Uang Santunan Rp 1,25 Miliar

Pihak keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang pada 29 Oktober 2018 mendesak agar pihak perusahaan membayar hak mereka.

Anton Sahadi, perwakilan dari keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 mengatakan, sejauh ini baru 69 ahli waris yang telah menerima uang santunan sebesar Rp 1,25 miliar tersebut.

Inilah Wajah Kades Babulu, Paulus Lau Siksa Gadis 16 Tahun, Disetrum dan Digantung Hampir Sekarat

Teller Lalai Salah Transfer Rp 3,6 Miliar, Nasabah Bank di Medan Divonis Bersalah Denda Rp 4 Miliar

"Ganti rugi berdasarkan Permenhub Nomor 77 tahun 2011 itu belum 100 persen selesai. Artinya banyak keluarga korban yang belum terima itu," kata Anton di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (29/10/2019).

Padahal, kata Anton, berdasarkan Permenhub tersebut, pihak Lion Air sekurang-kurangnya harus menuntaskan pemberian uang santunan itu paling lambat 60 hari setelah kejadian.

Anton menjelaskan pihak Lion Air sejatinya telah menawarkan pembayaran uang santunan tersebut kepada keluarga korban.

Namun ada persyaratan keluarga korban dilarang menuntut pihak-pihak yang terkait dengan kecelakaan tersebut di kemudian hari.

"Kami mempelajari, karena jelas itu bertentangan dengan Permen 77 dan Undang-Undang Penerbangan tahun 2009," jelas Anton.

Namun, dari pihak keluarga korban belum berencana menempuh jalur hukum untuk menuntut hak mereka itu.

"Kami juga sebagai keluarga korban sudah ingin melakukan rutinitas lainnya sehingga kami tidak fokus berkutat dengan persoalan JT-610 ini," ucap Anton.

Sementara itu, Presiden Direktur Lion Group Edward Sirait enggan berkomentar banyak mengenai pemberian uang santunan tersebut.

Ia hanya menjawab akan berkoordinasi dengan pihak asuransi masalah pencairan dana santunan tersebut.

"Kami akan koordinasi dengan pihak asuransi bagaimana ketentuan itu. Nanti bisa diselesaikan secepatnya," ucap Edward.

Total ada sebanyak 189 orang yang berada dalam pesawat nahas itu, terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, serta 5 kru.

Pesawat dengan nomor penerbangan PK-LQP itu lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Depati Amir pukul 06.20 WIB.

Pesawat itu dijadwalkan tiba di tempat tujuan sekitar pukul 07.20 WIB. Namun, 13 menit setelah mengudara, pesawat jatuh pada pukul 06.33 WIB.

Hari ini, pihak Lion Air bersama dengan keluarga korban memperingati satu tahun jatuhnya pesawat tersebut.

Dengan menggunakan kapal KRI Semarang-594 milik TNI AL mereka berangkat ke perairan Tanjung Karawang untuk menaburkan bunga dan mengirimkan doa.

Penyebab Kecelakaan

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Kementerian Perhubungan merilis laporan akhir (Final Report) investigasi kecelakaan pesawat B737 MAX 8 Lion Air penerbangan JT610, Jumat (25/10/2019).

Dalam laporan tersebut, KNKT menyimpulkan ada sembilan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan yang menewaskan 189 penumpang dan awak pesawat itu,

yang secara garis besar adalah gabungan antara faktor mekanik, desain pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat.

Selain itu, faktor lain yang berkontribusi adalah kurangnya komunikasi dan kontrol manual antara pilot dan kopilot, beserta distraksi dalam kokpit.

KNKT berdasar bukti rekaman data dan percakapan selama penerbangan, menyimpulkan bahwa kopilot tidak familiar dengan prosedur, walau telah ditunjukkan cara mengatasi pesawat saat training.

Saat B737 MAX 8 mengalami kendala pembacaan kecepatan di udara setelah takeoff, kapten pilot harus meminta kopilot dua kali untuk melakukan checklist, dan butuh waktu empat menit untuk mencari prosedur yang dibutuhkan dalam buku manual pesawat.

Selain itu, faktor teknis yang terungkap adalah sensor penting yang salah dikalibrasi oleh bengkel pesawat di Florida.

Padahal, sensor tersebut tergolong penting, karena memberikan data kepada sistem anti-stall B737 MAX (MCAS).

Sensor tersebut juga menurut KNKT terindikasi kuat tidak diuji coba dulu sebelum dipasang oleh staf mekanik Lion Air.

Kru mekanik juga tidak bisa mengidentifikasi masalah karena salah satu fitur safety pesawat, yakni peringatan AOA Disagree (indikator yang menunjukkan perbedaan angle of attack),

tidak diaktifkan secara tepat saat pengembangan B737 MAX oleh Boeing Rekomendasi KNKT juga membuat rekomendasi berdasar temuannya dalam investigasi Lion Air JT610.

Rekomendasi itu termasuk meminta Boeing mendesain ulang sistem anti-stall di B737 MAX, yang dikenal dengan MCAS.

Sistem itu secara otomatis akan mendorong hidung pesawat turun, meski pesawat terbang dalam mode manual (bukan autopilot), sehingga pilot kehilangan kontrol sepenuhnya.

Dikutip KompasTekno dari Reuters, Jumat (25/10/2019), Boeing sendiri telah mengembangkan sistem MCAS agar lebih sempurna lagi, dan akan menyediakan informasi mendetail dalam buku manual untuk pilot.

Penilaian yang dibuat Boeing mengasumsikan bahwa pilot akan merespons kondisi bahaya itu dalam waktu tiga detik, namun dalam penerbangan nahas JT610, dan satu penerbangan pada malam sebelumnya, pilot dan kopilot butuh waktu delapan detik untuk merespons.

Boeing juga sebelumnya beralasan bahwa MCAS bisa "dilawan" dengan menarik yoke (setir pesawat) ke belakang, namun dalam kejadian dan pengujian yang dilakukan setelah kecelakaan, ternyata switch cut-out untuk mematikan auto-trim juga harus digunakan.

Berikut adalah sembilan faktor yang berkontribusi kepada kecelakaan Lion Air JT610, menurut keterangan tertulis yang diterbitkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT):

1. Selama desain dan sertifikasi Boeing 737-8 (MAX), dibuat asumsi-asumsi terkait respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, ternyata asumsi ini tidak benar.

2. Berdasarkan pada asumsi ini, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.

3. MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor AOA, hal ini membuatnya rentan terhadap input yang salah dari sensor itu.

AOA atau Angle of Attack adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat.

Jika sudut ini terlalu tinggi, pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat. Data parameter diambil dari dua sensor, satu di antaranya terletak di sisi hidung pesawat.

4. Dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot, tidak ada panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih terperinci. Ini semakin menyulitkan kru penerbangan untuk merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.

5. Peringatan AOA DISAGREE tidak dengan benar diaktifkan selama pengembangan Boeing 737-8 (MAX). Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi. Ini juga tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan dan karenanya tidak tersedia untuk membantu bagian pemeliharaan dalam mengidentifikasi sensor AOA yang salah dikalibrasi.

6. Sensor pengganti AOA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya.

Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan. 

7. Investigasi juga tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AOA telah dilakukan dengan benar; namun kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.

8. Kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan.

Ini menyulitkan para pihak terkait untuk melakukan tindakan yang sesuai.

9. Sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan pihak Air Traffic Control tidak dapat dikelola secara efektif.

Ini disebabkan oleh sulitnya situasi dan kurangnya penanganan manual, eksekusi Non-Normal Checklist (NCC) - yang merupakan prosedur untuk memecahkan masalah - serta komunikasi awak pesawat,

mengarah pada tidak efektifnya aplikasi Crew Resource Management yaitu metode koordinasi antarpilot yang dirancang untuk memperbaiki respons terhadap kesalahan dan mengurangi stres.

Kekurangan ini sebelumnya telah diidentifikasi selama pelatihan dan muncul kembali selama penerbangan yang kemudian berakhir dengan kecelakaan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Keluarga Korban Pesawat Jatuh Desak Lion Air Selesaikan Pembayaran Santunan Rp 1,25 Miliar", https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/29/18221981/keluarga-korban-pesawat-jatuh-desak-lion-air-selesaikan-pembayaran?page=all#page2.

Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved