Habisi 1 Pleton Tentara Jepang, Inilah Kisah Pahlawan Akmal dari Ranau Sumatera Selatan
Monumen di Desa Simpang Sender tepatnya di persimpangan Desa Kota Batu dan Banding
TRIBUNSUMSEL.COM- Monumen di Desa Simpang Sender tepatnya di persimpangan Desa Kota Batu dan Banding Agung menyisahkan kisah perjuangan rakyat Ranau saat mengusir penjajah Jepang dan Belanda.
Jepang menguasai kawasan Asia dengan mendarat di Indonesia tanggal 1 Maret 1942.
Di Sumatera bagian Selatan, kala itu Jepang masuk ke wilayah Ranau dengan melewati jalur Liwa.
Di bawah kepemimpinan pasukan tentara ke-25, yang berpusat di Bukit Tinggi.
Melihat perkebunan teh yang berada di wilayah Ranau atau tepatnya di perkebunan kopi yang ada di Desa Sipatuhu, serta tembakau yang ada di tepian Danau Ranau dan Gunung Raya menjadi daya tarik pasukan jepang masuk daerah Ranau.
Akibatnya warga setempat berusaha mengusir para penjajah.
Diantara sekian banyak pahlawan yang berjuang mengusir penjajah terdapat seorang yang paling dikenal, yaitu Pahlawan Akmal seorang pemuda kelahiran Desa Pagar Dewa yang saat ini menjadi Kecamatan Warkuk Ranau Selatan (WRS).
Di zaman penjajahan Belanda, Akmal dikenal sebagai tokoh terpelajar, ia pernah mengenyam pendidikan sekolah Al Azhar di Batavia, dengan teman satu angkatan Tokoh HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945, Akmal pulang ke Ranau dengan mendirikan sebuah sekolah Madrasah di Pagar Dewa.
Pahlawan Akmal memang telah berpikiran maju dengan mengutamakan pendidikan bagi kaum wanita.
Tahun lalu, Tribunsumsel.com sempat mewawancarai anggota keluarga Pahlawan Akmal Kamila
Diceritakannya saat itu ayah Akmal gugur dibunuh dengan kejam oleh pasukan Jepang, ia tengah berusia 4 bulan dalam kandungan.
Kisah tentang ayahnya Akmal, didapatnya melalui ibunya Siti Aisyah, Ilmu pendidikan ayahnya di Batavia di salurkan di Madrasah Ranau.
Saat itu pengikutnya siswa Pahlawan Akmal turut membantu berjuang melawan penjajah.
Seperti nama yang masih dikenang Tambat Lias asal Jepara, dan Muhammad Yusuf asal Wai Relai.
Masuknya Jepang ke wilayah Negara Indonesia, Pahlawan Akmal termasuk salah satu orang yang anti terhadap penjajahan Jepang dengan membentuk pasukan yang dinamakan "Lasykar Hisbullah".
Hingga suatu hari, di sebuah perbukitan, jalan antara Ranau dan Liwa, Pahlawan Akmal menghadang pasukan Jepang.
Dengan misi ingin membalas kekejaman Jepang terhadap rakyat Ranau.
Dengan menyerang satu peleton pasukan Jepang.
Dalam peristiwa itu, hanya 2 orang tentara Jepang yang selamat.
Hingga saat ini peristiwa itu terus dikenang dengan dikenal sebagai “Peristiwa Gunung Pasir”.
Persitiwa tersebut membuat pihak Jepang marah.
Jepang memberikan ultimatum, jika Akmal tidak menyerah, maka rakyat akan dihabisi dan daerah Ranau akan dibumi hanguskan.
Namun pahlawan Akmal tidak sedikitpun gentar atau takut.
Akmal, sebagai salah satu tokoh Partai Sarikat Islam Indonesia ini, bersama laskar Hisbullah-nya mengatakan lebih baik Mati terhormat, daripada hidup di bawah naungan penjajah.
Pasukan jepang yang geram, mendatangi pahlawan Akmal, rakyat Ranau yang dikecam merasa ketakutan namun pahlawan Akmal berada dibarisan depan.
Hujan tembakan peluru didapatnya namun tidak ada satu pelurupun yang melukai tubuhnya, senjata tajam pun yang ditusuk pihak lawan tidak membuatnya terluka, ia lalu di bakar namun tidak kunjung mati.
Pasukan Jepang yang putus asa mengikatnya lalu diseret dengan mobil oleh tentara Jepang.
Sepanjang perjalanan ke arah Baturaja, Akmal dengan diseret kendaran Jepang Namun ia tidak menyerah dengan menyerukan “Allahu Akbar”.
Hingga akhirnya Akmal dikabarkan telah tewas.
Konon kabarnya, hingga tiga hari, sejak dikuburkan, masih terdengar suara adzan dari pahlawan Akmal.
Untuk menghormati kepahlawanan Akmal, dan rekan rekannya, nama Akmal diabadikan sebagai nama jalan di Baturaja, Muaradua, dan Ranau.
Peninggalan Akmal yang lain, ada di Tanjung Jati, Warkuk Ranau Selatan, saat ini dijadikan mushola dan Taman Pendididikan Al Qur’an. Serta, sebuah madrasah tempat Akmal mengajar yang ada di desa Pagar Dewa.
Putri bungsunya Kamila mengaku merasa bangga walaupun tidak pernah bertatap muka langsung dengan ayahnya, Kamilah bangga dengan ayahnya.
Karena gugur membela kemerdekaan bangsa Indonesia.
"Pada saat masa kecil, saya dan saudara dibohongi ibu, saat menanyakan di mana ayah. Almarhum ibu mengatakan bahwa ayahnya masih melanjutkan sekolah di Jakarta. Hingga tamat SD, baru diberitahu kejaduan sesungguhnya, tewas ditangan tentara jepang," kata Kamilah kala itu