Serba-serbi LRT, Laluan Roda Tercepat di Sumatera Selatan
Siang terik di kota Singapura, membuatku terpaksa duduk di pinggir jalan Telok Blangah yang cukup ramai saat itu.
Sayangnya, LRT Sumsel belum dilengkapi dengan automatic gate sebagai pengamanan tambahan di peron kereta untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun itu tidak menghalangiku untuk segera masuk ke kereta. Rute pertama yang aku lalui adalah Bumi Sriwijaya-DJKA. Sejauh mata memandang, terlihat pemandangan gedung-gedung tinggi dan jembatan Ampera yang nun jauh disana.
Saat itu, jam tanganku menunjukkan pukul 10.50 WIB. Masih ada 1 jam 10 menit lagi untuk sampai tepat waktu di Jakabaring. Melihat kepadatan kendaraan dari atas membuatku bersyukur karena jika aku tidak segera menggunakan LRT, maka dipastikan aku akan terlambat sampai dengan kemungkinan terburuk aku gagal mengikuti lomba.
Sesampainya di stasiun DJKA, aku tinggal melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati jembatan penyeberangan yang disediakan oleh Dishub sebagai penghubung menuju pusat perbelanjaan.
Di negara berkembang seperti Malaysia dan Singapura, LRT sudah menjadi transportasi andalan masyarakat dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Tak jarang, para wisatawan di negara tersebut juga ikut menggunakan LRT sebagai penghubung untuk menuju tempat wisata.
Tak hanya itu, penggunaan LRT juga sering disambungkan dengan moda transportasi lain seperti MRT (Moda Raya Terpadu dan BRT (Bus Rapid Transit) yang diaplikasikan di negara berkembang lainnya, yaitu Thailand. Tentu saja hal tersebut juga diharapkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama Pemprov Sumsel.
Penumpang LRT Sumsel juga bukan berasal dari kota Palembang saja, namun juga berasal dari beberapa daerah lain seperti Ogan Ilir, Musi Banyuasin, Muara Enim, dan daerah lain di Sumatera Selatan.
Antusiasme warga juga ditunjukkan dengan ramainya penumpang yang naik dari beberapa stasiun strategis seperti Bandara dan Ampera. Ayahku juga tak mau kalah. Beberapa kali aku menawarkan diri untuk mengantar dan menjemputnya dari bandara, namun beliau selalu menolaknya. “Biar Papa naik LRT aja, nanti jemput di stasiun yang deket aja ya” begitu ujarnya.
Satu tahun LRT Sumsel berhasil dioperasikan, perubahan pola hidup masyarakat Palembang pun ikut berubah. Dulu, rasanya malas sekali ketika harus berkendara menuju daerah Ulu.
Kemacetan dan hiruk pikuk kendaraan menuju dan dari seolah terbayangkan karena sudah jadi kebiasaan. Namun berkat LRT, semua menjadi mudah dan lebih praktis. Sistem yang terintegrasi tentu saja membuat masyarakat lebih mengandalkan LRT dibanding transportasi lainnya mengingat biaya yang dibutuhkan untuk satu kali rute perjalanan sampai lima kali lipat lebih murah. Selain itu, waktu tempuh yang diperlukan LRT dari satu ke lain tempat relatif cepat dibandingkan transportasi lama seperti angkutan kota. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan jika untuk beberapa tahun ke depan, infrastruktur transportasi juga semakin berkembang.
Kita dapat mencontoh kota Jakarta yang sudah menggunakan MRT atau Moda Raya Terpadu dengan sistem integrasi kereta cepat bawah tanah yang tentu saja lebih efisien dan mudah dijangkau di daerah yang cukup jauh dari pusat kota. Titik pemberhentian LRT Palembang juga masih sangat terbatas, namun sudah cukup memadai. Harapan masyarakat sepertinya sepadan dengan harapan para pemangku pemerintahan. LRT bukan hanya sekedar transportasi berteknologi, namun juga menjadi cermin bahwasannya kita perlu berbenah diri. Masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki, namun diiringi oleh tingkah laku dan pola pikir masyarakat itu sendiri. Masyarakat berharap agar peningkatan sarana dan prasarana tidak hanya sebatas kereta yang melaju cepat, melainkan lebih dari itu. Penekanan penggunaan transportasi pribadi dan sosialisasi penggunaan angkutan masal dapat menjadi solusi dari permasalahan klasik ibukota, yaitu kemacetan. Kita semua juga berharap, semoga LRT Sumsel dapat menjadi acuan dalam penyelesaian permasalahan transportasi terkhususnya kota Palembang.