Serba-serbi LRT, Laluan Roda Tercepat di Sumatera Selatan
Siang terik di kota Singapura, membuatku terpaksa duduk di pinggir jalan Telok Blangah yang cukup ramai saat itu.
Oleh Dea Nabila Putri
Juara 3 Lomba Menulis Artikel 1 Tahun LRT Sumatera Selatan
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Siang terik di kota Singapura, membuatku terpaksa duduk di pinggir jalan Telok Blangah yang cukup ramai saat itu. Taman yang asri ini berlatarkan jalur kereta cepat di atas jalan layang dan orang-orang yang berlalu lalang.
Aku ingat sekali, saat itu aku baru saja menginjak usia 14 tahun. Namun angan-anganku begitu tinggi ketika kulihat kilat dari pantulan badan besi kereta yang melintas dihadapanku. Orang orang sering menyebutnya dengan kata
“LRT”. Ibuku bilang, LRT ini adalah salah satu penerapan teknologi kereta cepat yang canggih. Kalau dulu, aku sering sekali bernyanyi lagu Kereta Api yang dipopulerkan oleh Ibu Soed. Namun kini, kereta itu sudah tidak berapi lagi.
Light Rail Transit, begitu tulisan yang muncul di mesin pencarian dari ponselku. Atau dalam bahasa Indonesia disebut Lintas Rel Terpadu. Teknologi kereta cepat ini ternyata sudah mulai di adopsi oleh pemerintah Indonesia.
Tepat di tahun 2015, rencana Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk meningkatkan infrastruktur transportasi dengan pembangunan LRT di ibukota akhirnya mulai direalisasikan. Belum sampai satu bulan para kontraktor memetak lahan untuk pembangunan amdal kereta, masyarakat dari berbagai lapisan mulai bertanya-tanya tentang tujuan utama pembangunan LRT di Kota Palembang.
Namun pemerintah tidak getar. Kurang lebih tiga tahun waktu yang diperlukan untuk memastikan kereta dapat berjalan diatas rel tanpa hambatan.
Aku pun sempat bertanya-tanya, apakah ini semua akan berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan? Dalam rangka menyambut pagelaran pesta olahraga terbesar Asian Games 2018 yang menempatkan Jakarta dan Palembang sebagai tuan rumah, pembangunan LRT terus dikebut dengan harapan dapat segera rampung beberapa hari sebelum acara pembukaan Asian Games 2018.
Benar saja, uji coba pertama LRT Sumsel di Palembang tanggal 17 Mei 2018 sukses dilaksanakan tanpa hambatan. Hal ini tentu saja membuat Pemprov Sumsel optimis LRT dapat menjadi mengganti moda transportasi umum dengan teknologi dan dapat mengurangi kemacetan.
Begitu juga denganku. Rasa penasaran yang terpendam selama proses pembangunan LRT akhirnya terpuaskan ketika aku mencoba menumpangi LRT Sumsel di Palembang untuk kali pertama. Aku ingat sekali, saat itu aku akan mengikuti lomba di salah satu pusat perbelanjaan yang berada di daerah Jakabaring.
Aku mengejar waktu untuk sampai disana tepat waktu, sedangkan jalanan sedang ramai-ramainya karena hari libur. Alternatif transportasi yang kusiapkan adalah ojek daring dan angkutan kota. Di tengah perjalananku menggunakan ojek daring, kejadian yang tak kuduga terjadi.
Ban motor yang kutumpangi mengalami kebocoran sehingga aku harus menunggu lagi untuk memperbaiki ban tersebut.
“Naik LRT aja mbak, nanti takutnya gak kekejer mau ke Jakabaringnya” ujar bapak supir ojek daring yang kutumpangi.
Kebetulan, stasiun terdekat LRT hanya beberapa meter dari tempat kami menunggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung membayar ongkos ojek yang sudah dipotong oleh bapak supir karena hanya setengah jalan dan segera bergegas menuju stasiun LRT Bumi Sriwijaya.
Setiap stasiun pemberhentian dilengkapi dengan fasilitas escalator dan lift untuk memudahkan akses calon penumpang menuju peron. Penggunaan tiket manual dan e-money juga terbilang sangat mudah. Aku pun duduk di ruang tunggu sambil menunggu kereta datang. Ketika kereta akan segera sampai, semua calon penumpang baru diperbolehkan untuk naik menuju peron.
Sayangnya, LRT Sumsel belum dilengkapi dengan automatic gate sebagai pengamanan tambahan di peron kereta untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun itu tidak menghalangiku untuk segera masuk ke kereta. Rute pertama yang aku lalui adalah Bumi Sriwijaya-DJKA. Sejauh mata memandang, terlihat pemandangan gedung-gedung tinggi dan jembatan Ampera yang nun jauh disana.
Saat itu, jam tanganku menunjukkan pukul 10.50 WIB. Masih ada 1 jam 10 menit lagi untuk sampai tepat waktu di Jakabaring. Melihat kepadatan kendaraan dari atas membuatku bersyukur karena jika aku tidak segera menggunakan LRT, maka dipastikan aku akan terlambat sampai dengan kemungkinan terburuk aku gagal mengikuti lomba.
Sesampainya di stasiun DJKA, aku tinggal melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati jembatan penyeberangan yang disediakan oleh Dishub sebagai penghubung menuju pusat perbelanjaan.
Di negara berkembang seperti Malaysia dan Singapura, LRT sudah menjadi transportasi andalan masyarakat dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Tak jarang, para wisatawan di negara tersebut juga ikut menggunakan LRT sebagai penghubung untuk menuju tempat wisata.
Tak hanya itu, penggunaan LRT juga sering disambungkan dengan moda transportasi lain seperti MRT (Moda Raya Terpadu dan BRT (Bus Rapid Transit) yang diaplikasikan di negara berkembang lainnya, yaitu Thailand. Tentu saja hal tersebut juga diharapkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama Pemprov Sumsel.
Penumpang LRT Sumsel juga bukan berasal dari kota Palembang saja, namun juga berasal dari beberapa daerah lain seperti Ogan Ilir, Musi Banyuasin, Muara Enim, dan daerah lain di Sumatera Selatan.
Antusiasme warga juga ditunjukkan dengan ramainya penumpang yang naik dari beberapa stasiun strategis seperti Bandara dan Ampera. Ayahku juga tak mau kalah. Beberapa kali aku menawarkan diri untuk mengantar dan menjemputnya dari bandara, namun beliau selalu menolaknya. “Biar Papa naik LRT aja, nanti jemput di stasiun yang deket aja ya” begitu ujarnya.
Satu tahun LRT Sumsel berhasil dioperasikan, perubahan pola hidup masyarakat Palembang pun ikut berubah. Dulu, rasanya malas sekali ketika harus berkendara menuju daerah Ulu.
Kemacetan dan hiruk pikuk kendaraan menuju dan dari seolah terbayangkan karena sudah jadi kebiasaan. Namun berkat LRT, semua menjadi mudah dan lebih praktis. Sistem yang terintegrasi tentu saja membuat masyarakat lebih mengandalkan LRT dibanding transportasi lainnya mengingat biaya yang dibutuhkan untuk satu kali rute perjalanan sampai lima kali lipat lebih murah. Selain itu, waktu tempuh yang diperlukan LRT dari satu ke lain tempat relatif cepat dibandingkan transportasi lama seperti angkutan kota. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan jika untuk beberapa tahun ke depan, infrastruktur transportasi juga semakin berkembang.
Kita dapat mencontoh kota Jakarta yang sudah menggunakan MRT atau Moda Raya Terpadu dengan sistem integrasi kereta cepat bawah tanah yang tentu saja lebih efisien dan mudah dijangkau di daerah yang cukup jauh dari pusat kota. Titik pemberhentian LRT Palembang juga masih sangat terbatas, namun sudah cukup memadai. Harapan masyarakat sepertinya sepadan dengan harapan para pemangku pemerintahan. LRT bukan hanya sekedar transportasi berteknologi, namun juga menjadi cermin bahwasannya kita perlu berbenah diri. Masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki, namun diiringi oleh tingkah laku dan pola pikir masyarakat itu sendiri. Masyarakat berharap agar peningkatan sarana dan prasarana tidak hanya sebatas kereta yang melaju cepat, melainkan lebih dari itu. Penekanan penggunaan transportasi pribadi dan sosialisasi penggunaan angkutan masal dapat menjadi solusi dari permasalahan klasik ibukota, yaitu kemacetan. Kita semua juga berharap, semoga LRT Sumsel dapat menjadi acuan dalam penyelesaian permasalahan transportasi terkhususnya kota Palembang.