Liputan Investigasi
Investigasi: Ketua RT Dapat Orderan Sampai 10 Caleg, Bagi-bagi Rp 100 Ribu Jelang Pemilu
Persaingan keras antar caleg untuk terpilih telah mendorong terjadi politik transaksional. Uang bertebaran di kantong-kantong pemilih
PALEMBANG, TRIBUN - Persaingan keras antar caleg untuk terpilih telah mendorong terjadi politik transaksional. Uang bertebaran di kantong-kantong pemilih kelas menengah bawah. Nominalnya paling kecil Rp 100 ribu, dan bisa mencapai Rp 250 ribu untuk paket caleg.
Para caleg tak turun langsung membagikan uang tersebut, melainkan melalui koordinator yang menggalang dukungan dari pejabat ketua RT dan ketua RW. Ada juga warga yang punya relasi dengan koordinator tersebut. Mereka ini bertanggung jawab membagi-bagi (suara) pemilih di lingkungannya untuk diberikan kepada caleg.
Pembagian pemilih itu memungkinkan ketua RT/RW untuk menerima orderan sepuluh caleg sekaligus. Dia memberikan 10 sampai 20 nama berbeda untuk setiap caleg. Satu RT bisa mencapai 200 orang mata pilih. Untuk jasanya itu ketua RT/RW mendapat upah.
Tribun Sumsel menemui sejumlah ketua RT di Kota Palembang. Mereka mengakui hal itu memang terjadi.
"Memang seperti itu, setiap caleg menemui saya untuk mendapat suara, mereka minta sekitar 10 sampai 20 suara saja, tidak banyak, dengan imbalan uang," kata BG Ketua RT di kecamatan Kemuning.
Dijelaskan BG, para caleg tersebut mengajak para ketua RT di kecamatan tertentu untuk berkumpul, apa di tempat makan atau dikediamannya, setelah itu menyampaikan niatnya untuk mendapat dukungan pada Pileg.
• Investigasi Makelar Money Politic Berkedok Konsultan: Kontrak Janggal Si Konsultan Palsu
• Investigasi Perdagangan Gelap Formalin di Palembang, Pengawet Makanan dari Pembersih Kandang Ayam
• INVESTIGASI: Marak Infus Pemutih Online di Dalam Mobil, Penjual Jasa Mengaku Paramedis
• Cukong Kaya Raya Pekerja Bertaruh Nyawa, Investigasi Tambang Batubara Rakyat
"Kami dikumpulkan, setelah itu ada koordinator RT yang mengurus secara detil, dan kami diberikan jumlahnya," beber BG.
Dia mengatakan, situasi itu sama seperti Pemilu 2014 lalu.
"Rata- rata mereka terpilih 2014 lalu, dan tahun ini juga mereka ingin mengulanginya, telah berkomunikasi," ungkapnya. NG mengaku sudah menerima orderan dari sekitar 10 caleg dari semua tingkatan.
Untuk meminimalisir pengeluaran yang besar, caleg biasanya menggunakan sistem paket, berkolaborasi caleg tingkat DPR, DPRD provinsi, maupun kota.
"Sudah ada yang menyerahkan dananya ke kami, sistem paket untuk tingkat provinsi dan kota, mereka bayar seratus ribu rupiah untuk satu warga," ujar dia.
BG mengaku secara terbuka menyampaikan tawaran uang itu kepada warga.
"Saya menyampaikan dan memberikan uang saat penyerahan undangan atau datang langsung ke rumah warga, saya sudah tahu karakternya. Jika orang pendidikan atau memang partai tertentu, itu dihindari dan tidak mungkin memaksanya. Tapi mereka yang selama ini penghasilannya kecil, saya rayu dan anjurkan coblos caleg dengan imbalan uang," ungkapnya.
Dijelaskan BG, cara-cara seperti itu efektif dan tidak akan meleset dari target. "Bisa saja suara yang didapat lebih besar, bisa saja lebih kecil, tapi rata- rata mencapai target," katanya.
Hal senada diungkapkan HR, ketua RT di Kecamatan Bukit Kecil Palembang yang mengakui sudah didatangi puluhan caleg minta orderan suara.
"Mereka ada yang berani bayar Rp 100 ribu untuk suara, dan ada juga yang paket tiga untuk DPR, provinsi, dan kota sebesar Rp 250 ribu," tutur HR.
HR menyatakan, selain caleg yang aktif untuk melakukan transaksional tersebut, ia juga tak segan jika ada caleg yang datang ke rumah langsung ditawarkan hal serupa.
"Saya rasa hal itu sudah lumrah, saya siap bantu saja. Asal ada dananya mereka mau berapa suara akan saya upayakan," tuturnya.
Dilanjutkan pria juga pernah jadi caleg ini, orang- orang yang meminta bantuan bagi dirinya akhirnya terpilih.
"Kalau meleset, paling 20 persen saja. Sebab saya tahu warga saya, yang mana saja yang mau menerima atau yang tidak. Saya data dan nanti para pengepul yang akan bergerak, biasanya H-3 hingga H-1 masa pencoblosan," katanya.
KPU Sumsel bereaksi seputar dugaan politik uang yang dikoordinir oleh oknum Ketua RT atau Ketua RW. KPU menilai apa pun bentuknya politik uang masuk dalam tindak pidana pemilu yang berakibat pidana.
"Money politik, entah melalui RT atau dari siapa pun itu termasuk tindak pidana pemilu, saksi pidananya jelas dan jika terbukti caleg bersangkutan bisa disanksi administratif berupa diskualifikasi," ungkap Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sumsel, Hepriyadi SH MH.
Ia menambahkan sanksi diskualifikasi itu dikenakan kepada caleg yang terbukti melakukan politik uang sebelum pemilihan umum. Sementara jika sudah terpilih akan dibatalkan sebagai calon terpilih.
Hepriadi mengajak semua caleg dapat menempuh cara yang baik dan bermartabat untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Dan bagi seluruh aparat pemerintah mulai dari jajaran tertinggi hingga terendah untuk bersikap netral.
"Karena ini pertarungan negeri ini lima tahun kedepan, maka sangat disayangkan apabila aparatur pemerintahan hingga tingkat RT hanya berfikir tentang uang 100, 200 ribu, dan tidak memikirkan masa depan bangsa," tegasnya. (tim)