Cerita Khas Palembang

Kisah Kapolsek SU II Kompol Yenny Diarty, Wong Palembang Merintis Rumah Tangga di Daerah Konflik

Dari Palembang Kompol Yenny pindah ke Poso, untuk mengikuti karir suami dan melahirkan anak pertama di sana.

Istimewa
Kapolsek SU II Kompol Yenny Diarty, 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Memiliki cita-cita sebagai anggota kepolisian, membuat wanita benama lengkap Yenny Diarty mengikuti pendidikan kebintaraan Polri sejak kelas 3 SMA.

Yenny mendaftar ke Bintara Polri melalui pendidikan sekolah militer Lebak Bulus tahun 1998.

Karena prestasinya mendapat peringkat 1 menembak, Yenny lulus di tahun 1999 dan menjadi instruktur menembak di lembaga pendidikan.

Sejak saat itu Yenny memiliki hobi menembak.

"Karena dengan menembak dapat menghilangkan capek dan lelah. Saat menembak, kita bisa mengatur emosi kita, konsentrasi serta ketenangan kita. Dari tiga unsur itu terpadu menjadi satu saat kita menembak," katanya.

Kombes Didi Hayamansyah Sejak SMA Dikenal Disiplin, Alumni Xaverius 1 Jabat Kapolresta Palembang

Kapolresta Palembang : Jangan Mudah Termakan Isu SARA dan Berita Hoaks, Ini Cara Menangkalnya

Pada 2002, dibuka rekrutmen Taruni Akpol yang menerima dari SMA dan Bintara.

Alumni SMA Negeri 5 Palembang ini memenuhi persyaratan dan menempuh pendidkan sejak 2002 selama 2,5 tahun dan lulus tahun 2005.

Di tahun 2006, wanita yang sekarang berpangkat Kompol ini menikah dengan Kompol Andi Baso Rahman.

Saat itu Kompol Andi Baso Rahman mendapat tugas di Poso Sulawesi Tengah (Sulteng).

Akhrinya, dari Palembang Kompol Yenny pindah ke Poso, untuk mengikuti karir suami dan melahirkan anak pertama di sana.

Kapolsek SU II Kompol Yenny Diarty
Kapolsek SU II Kompol Yenny Diarty (Istimewa)

"Saat saya mendampingi karir suami di Polda Sulteng dimana saat itu kondisi konflik. Ada beberapa peledakan bom yang kerap terjadi, kemudian ada ekskusi Tibo."

"Di situ memang sempat sedikit agak khawatir karena lagi hamil anak pertama sampai melahirkan di sana dan jauh dari keluarga apalagi saat itu baru merintis rumah tangga ," ujarnya.

Ditambah lagi keadaan sarana dan prasarana yang serba terbatas membuat wanita kelahiran Palembang, 25 juni 1980 ini harus sigap dalam menjalani tugasnya.

"Dulu listrik terbatas hanya 6 jam, tapi bagaimanapun kegiatan tetap berjalan. Saat itu saya di reskrim, mau pemeriksaan listrik mati. Jadi mau gak mau kita meriksa saat orang tidur, karena lampu hidupkan di malam hari, karena itu kita yang menyesuaikan lampu,"

"Saat deadline kita akhirnya numpang ke hotel sambil bawa laptop, kadang kita juga numpang di kantor jaksa karna saat itu cuma kantor jaksa yang ada genset. Saat itu benar-benar minim sarana prasarana," tambahnya.

Pernah Keguguran Dua Kali, Ternyata Istri Anang Hermansyah, Ashanty Alami Hal Ini Jadi Penyebabnya

Sriwijaya FC akan Datangkan Pemain-pemain Top, Rekrut Minimal 24 Pemain

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved