Cerita Khas Palembang
Kisah Legenda Makan Tigo Ngaku Dua, Begini Reaksi Warga Palembang, Ungkap Modus yang Dipakai
Tribun menyajikan liputan khas Plembang yang ringan bagi pembaca. Barangkali bisa memanggil-manggil memori lama dan membuat hari jadi lebih bahagia.
Penulis: Prawira Maulana | Editor: M. Syah Beni
"Iya sering begitu, jadi saya setor kan 390 ribu, pas hitung ternyata kurang, pempeknya habis uangnya kurang. Jadi saya harus nutupin," ungkapnya, Jum'at (30/11) siang.
Saat itu Sumardi sedang menunggui anak-anak sekolah yang makan pempeknya. Sesekali ia mengibaskan kain lap untuk mengusir lalat yang datang. Kota Palembang sedang rintik-rintik hujan gerimis.
Sumardi juga mengatakan saat sedang berjualan yang mendatanginya banyak anak-anak ambil sendiri. Ia hanya memberikan cukonya saja.

"Saya tanya makan berapa mereka jawab masing-masing yah saya terima uangnya. Saya sistem jualannya cuma pakai kepercayaan sama yang makan, mau bagaimana lagi," tambahnya sambil tersenyum.
Sumardi menjelaskan uang yang harus diberikan kepada agen adalah RP 390.000 dengan 600 buah pempek sedangkan sisanya adalah keuntungnya.
Meski begitu ia sering kali harus menutupi uang setoran yang tak cukup dari penjualan, atau harus mengembalikan pempek.
"Sering saya nombok mbak kadang Rp 20 ribu bahkan pernah 100 ribu, karena pempek nya habis tapi uangnya tidak pulang. Jadi harus motong keuntungan penjualan saya," ujarnya.
Jadi mulai sekarang, kita balik. Makan tigo bayar limo yo.