Pasien Gangguan Jiwa Didata untuk Pilpres, Namanya Sendiri Saja Bisa Lupa

Manajemen Rumah Sakit Ernaldi Bahar menyambut rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendata pasien pengidap ganguan jiwa untuk

Tribun Bali/ I Putu Darmendra
Ilustrasi 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Manajemen Rumah Sakit Ernaldi Bahar menyambut rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendata pasien pengidap ganguan jiwa untuk memberikan hak suara pada Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019.

Saat ini RS Erba masih terus menunggu instruksi dari pemerintah pusat, jika memang benar, maka semuanya akan dipersiapkan sebaik mungkin.

"Jika memang sudah ada perintah tentu kami siap membantu."

"Namun perlu diketahui itu butuh waktu dan harus paham, kalau sakit fisik bisa kelihatan, kalau ini namanya sendiri saja bisa lupa."

"Untuk itu harus diberi pemahaman juga berdasarkan tingkat sakitnya," kata Humas RSJ Provinsi Sumatera Selatan Ernaldi Bahar, Iwan Andiantoro.

Ia menjelaskan saat ini pasien yang ada sekitar 250 pasien dengan tingkat sakit yang berbeda.

Untuk itu butuh koordinasi dari pusat, karena mempersiapkannya mungkin akan memakan waktu yang lama.

"Ada syarat untuk memberikan surat keterangan dokter, baru bisa tahu ini pasien bisa milih apa tidak."

"Untuk itu kami pasti butuh waktu untuk memilih karena pasien kurang lebih 250, karena bagaimana yah pasien ini nambah terus," jelasnya.

"Mungkin jika dari pasien sudah bisa, area rumah sakit ini bisa kalau mau dijadikan TPS nantinya, kalau memang harus."

"Kami siap dukung dan membantu menyukseskan pemilu 2019," katanya.

RS Erba siap mendampingi pemilih penyandang disabilitas mental jika diperlukan demi membantu suksesnya pelaksanaan pemilu.

"Sebenarnya hak suara ini dari dulu memang ada tanpa terkecuali, termasuk pasien ganguan jiwa, yang penting kan tercatat di Disdukcapil," katanya.

"Tapi khusus untuk pasien yang rawat inap, memang selama ini belum ada petugas KPU datang memungut suara itu memang tidak ada."

"Tapi kalau rencananya akan diadakan, itu baik, kami siap membantu," tambahnya.

Iwan juga menjelaskan berdasarkan pengalaman sebelumnya, saat ada pemilu, atau pilkada, biasanya pasien akan kembali ke keluarganya.

"Iya jadi saat pemilihan begitu, yang tidak rawat inap hanya kontrol dan sebagainya, mereka dikembalikan keluarganya dan bisa memilih dari pada golput," jelasnya.

Dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel Kelly Mariana menerangkan.

Pihaknya akan membahas, soal pemilih yang mengalami gangguan jiwa tetap diakomodir dalam pemilu mendatang.

"Kami belum dapat petunjuk dari KPU RI. Tapi, sepanjang aturan yang lama masih berlaku, pemilih gangguan jiwa, bisa tetap menggunakan hak pilihnya jika ada surat keterangan dokter."

"Nanti 21 November akan kami bahas rekomendasi dari KPU RI tersebut," katanya.

Kelly menambahkan, dalam pembahasan nanti, pihaknya perlu membahas terkait kategori gangguan jiwa.

Sehingga nanti ada pemisahan kategori/kadar gangguan jiwa yang bisa menggunakan hak pilih.

"Selain harus di atas 17 tahun, kalau yang gangguan jiwa harus ada surat keterangan dokter," jelasnya.

Dilanjutkan Kelly, pihaknya harus siap mendata dan memfasilitasi pemilih yang mengalami gangguan jiwa tersebut.

Baik di rumah sakit atau di lingkungan sekitar masyarakat.

"Kalau pengawalan kan memang ada di setiap TPS, tentu tidak di semua TPS ada pemilih dengan gangguan jiwa, perlu ada pendataan sebelumnya."

"Juga contohnya apakah akan ada TPS di RS jiwa, masih akan kita bahas terlebih dahulu," tandasnya.

Komisi Pemilihan Umum ( KPU) berencana untuk memasukkan pemilih penyandang disabilitas mental ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.

Langkah tersebut, berdasar rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan sejumlah masyarakat sipil.

Berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XIII/2015 soal hak pilih disabilitas mental.

Disebutkan bahwa, hanya penderita gangguan jiwa yang dinilai mampu menggunakan hak pilihnya yang bisa ikut dalam pemungutan suara di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, penyandang disabilitas mental wajib membawa surat rekomendasi.

Atau keterangan dari dokter untuk bisa menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Surat tersebut, harus menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental sedang dalam kondisi sehat.

Hal itu sebagai salah satu syarat mereka dapat menyumbangkan suaranya di Pemilu 2019.

“Hal tersebut sudah ada regulasinya, untuk kondisi tersebut yang paling dibutuhkan adalah surat keterangan dokter yang menyatakan seseorang sanggup menggunakan hak pilih."

"Sepanjang tak mengganggu bisa memilih, kalau mengganggu ya tidak bisa,” jelas kata Ketua KPU RI Arief Budiman.

Arief menegaskan mekanisme untuk pemilih dengan kondisi seperti itu sangat beragam tergantung gangguan jiwa yang dialami dan kondisi masing-masing lokasi.

“Tetap boleh memilih karena tidak semua yang terganggu kondisinya tidak bisa menentukan pilihan, ada gangguan yang tak pengaruhi kemampuan gunakan hak pilih,” kata Arief Budiman.

“Mekanismenya juga beragam disesuaikan dengan masing-masing lokasi, yang penting surat dokter tadi,” kata Arief.

Dia mengatakan, KPU siap menerima laporan dari masyarakat untuk mengakomodasi pemilih dengan kebutuhan khusus seperti itu.

“Prosesnya masih terus berjalan karena kondisi pemilih seperti itu berbeda, bisa saja kondisi sekarang berbeda dengan lima bulan mendatang."

"Sementara ini pemilih dengan kondisi yang memenuhi syarat kami masukkan dalam daftar pemilih,” kata Arief. (arf/tribunnews)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved