Hari Pahlawan 2018
Hari Pahlawan, Mengulik Kisah Heroik Bung Tomo, Berani Kritik Soekarno Sampai Memimpin Regu Gajah
Sejak zaman perang, bahkan hingga sekarang, nama Bung Tomo selalu dikaitkan dengan tindakannya yang gagah berani kadang mendekati kenekatan
Dalam gerakan kepanduan Itu terdapat permainan "gerilya" untuk memperebutkan kemah, atau memperebutkan bendera merah putih.
Permainan itu biasanya dilakukan di tengah kuburan pada malam hari.
"Menyelusuri di antara kuburan-kuburan dalam gelap malam, hati sebenarnya merasa kecut. Tapi apa boleh buat, hati dipaksa-paksa buat berani," tutur Bung Tomo.
Setelah dua pihak, yang menyerang dan mempertahankan, bertemu, terjadilah bakuhantam satu sama lain, untuk memperebutkan bendera merah putih.
"Jadi bertempur dan bergerilya waktu perang kemudian bagi kami sudah bukan hal yang asing lagi."
Kecuali keberanian fisik, dalam gerakan kepanduan waktu itu dipupuk pula tradisi hidup demokratis. Setiap anggauta pandu harus bertanggungjawab atas segala perbuatannya yang dianggap salah.
Misalnya dalam hal absensi latihan, kehidupan sehari-hari sampai ke soal keuangan. Seorang pemimpin berhak menghukum anakbuahnya.
Tapi seorang anakbuah berhak pula mengritik serta meminta pertanggungan jawab dari plmpinannya.
"Sejak itulah terpupuk keberanian saya untuk mengritik pihak atasan, karena kehidupan kepanduan waktu itu telah mendidik kita untuk bersikap demokratis," kata Bung Tomo.
Setiap anggauta pandu sudah diajarkan untuk selalu bertindak "rule of law", dan setiap orang harus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Mengeritik Bung Karno
Keberaniannya, termasuk keberaniannya mengritik atasan atau penguasa, kian kokoh tertanam dalam jiwanya.
Dalam usia 19 tahun ia menjadi wartawan pada koran "Pustaka Timur", "Express" dan "Pembela Rakyat".
Dan waktu pendudukan Jepang ia menjadi koresponden pada kantor berita Domei bagian Indonesia milik Jepang.
Ia sering bertemu muka dengan Bung Karno dan Bung Hatta, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia waktu itu.
Ia dikenal sebagai seorang reporter nomor satu, apalagi sewaktu ia berani menterjemahkan pidato seorang pembesar Jerman, yang kemudian disiarkan di koran-koran.
Menjelang proklamasi kemerdekaan, Sutomo dipanggil ke Jakarta untuk dilantik menjadi salah seorang anggauta Persiapan Pembentukan Rakyat Baru.
Dialah satu-satunya wakil pemuda dari daerah. Inisiatip untuk mengundang datang dari Bung Hatta serta K.H. Wachid Hasjim.
Ia tidak pernah menduga akan ada undangan semacam itu.
Teman-temannya mengolokinya sebagai "penggede" yang akan diangkat di Jakarta. Untuk pertama kail Itu dalam hidupnya pergi jauh ke luar kota. Tak ada waktu baginya untuk mempersiapkan dlri.
Ia hanya sempat membawa satu stel pakaian yang sudah dijahit tisik di sana-sini yang dipakainya, sepasang sepatu yang sudah "megap-megap", serta sebuah kopor butut yang di dalamnya berisi satu stel pakaian, satu jas dan pakaian dalam.
Ir. Gunadi, asisten pribadi Bung Karno, yang menjemputnya di stasiun Gambir hampir-hampir tak mengira bahwa dialah pemuda Sutomo yang bakal dilantik itu.
Lalu Sutomo diinapkan di Hotel Des Indes (Duta Indonesia) yang terletak di Harmoni.
Ia tidur di sebuah kamar mewah, di atas tempat tidur yang amat empuk dan dilayani seperti raja. Pada saat itulah jiwanya memberontak keras.
Jiwanya yang lugu dan penuh semangat muda seperti tersayat dihadapkan dengan kenyataan yang amat pincang dalam masyarakat waktu itu.
Lalu waktu diadakan rapat pelantikan keesokan harinya, ia minta giliran pertama untuk berpidato.
Di hadapan para pembesar Jepang serta para pemimpin Indonesia, ia meletupkan ketidakpuasannya.
Pidatonya yang berkobar-kobar penuh emosi menyerang sikap para pemimpin Indonesia, terutama Bung Karno. Pidatonya itu antara lain berbunyi sebagai berikut:
" … Bung Karno! Saya kecewa melihat kalian, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia. Kalian selama ini menganjurkan kepada kami seluruh rakyat Indonesia, untuk membantu dan bekerjasama dengan pihak Jepang.
Ternyata bangsa yang kita bantu itu tak lebih dari bangsa penjajah yang menindas bangsa kita sendiri. Mereka hidup makmur dan mewah, seolah-olah berada di negaranya sendiri dan seperti tidak dalam keadaan perang.
Sementara bangsa kita hidupnya begitu miskin, papa dan tertindas!
Sekarang saya tahu, kenapa kalian selama ini berdiam diri saja. Karena kalian sudah dibungkam dan mabuk oleh kemewahan yang diberikan Jepang pada kalian.
Makan enak, tidur di kasur empuk, dikasih mobil, rumah dan seterusnya.
Saya kecewa padamu, pada kalian. Saya tidak tahu, kalau begini sikap kalian, siapa yang akan memimpin bangsa Indonesia apabila kelak kita merdeka!... "
Selama Sutomo berpidato suasana hening sekali. Ketegangan menggantung di ruang rapat.
Tak ada yang bersuara, karena masing-masing merasa seperti dltampar mukanya.
Orang-orang Jepang itu merasa takjub melihat seorang pemuda kurus, tingginya tak lebih dari 160 senti dan umurnya baru 25 tahun, begitu berani memaki-maki para pembesar Jepang dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya.
Wajah mereka merah-padam menahan marah. Tapi tak ada yang berani bertlndak. Pada saat itulah terbersit dalam hati Sutomo:
"Ya. Ternyata mereka pun tidak berani bertindak padaku. Jadi, sebenamya keberanian hanya soal kesempatan bertindak "
Bung
Sejak itu namanya dikenal secara luas, terutama para pemuda di Jawa Timur yang merasa terwakili oleh Sutomo. Mereka lalu memanggilnya dengan sebutan akrab "Bung" di depan namanya.
Sebelumnya ia sudah memimpin organlsasi gerakan di bawah tanah di Surabaya.
Dan waktu pecaH perang, ia membentuk pasukan dengan nama Barisan Pemberontakan Republlk Indonesia (BPRI), di samping TKR, BKR, TRI dan laskar-laskar rakyat yang telah ada.
Ia dikenal sebagai kepala pasukan yang berani, nekat, tidak kenal kompromi dan pandai membakar semangat.
Waktu pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), pada bulan Jull 1947, Bung Tomo termasuk pendirinya di bawah pimpinan Jendral Sudirman
. Perwira lainnya adalah Mayor Jendral Urip Sumohardjo, Mayor Jendral Djokosujono, Mayor Jendral Ir. Sakirman, Laksamana Muda Nasir, Laksamana Muda Surjadarma serta Mayor Jendral Sutomo.
Tapi Jabatan sebagai Mayor Jendral Ini tidak lama ia pegang.
Waktu Belanda memberinya alternatip: menjadi militer atau menjadi pemimpin rakyat, Bung Tomo ternyata memillh yang terakhir, karena ia merasa lebih dekat dengan rakyat.
Waktu pecan Clash II. la mengungsl ke gunung, tahun 1949.
Sejak Belanda mengakui secara penuh kemerdekaan Indonesia. 1950, ia memutuskan terjun ke dunia polltik.
Didirikannya Partai Rakyat Indonesia, satu-satunya partai polltik yang untuk pertama kallnya memakai dasar Pancasila.
Dalam pemillhan umum tahun 1955, partainya gagal karena tiadanya dana dan lalu bubar.
Pernah menjadi Menterl Veteran merangkap Menteri Sosial ('55-'56) dalam Kabinet Burhanudin Harahap. Lalu menjadi anggauta parlemen (DPR) dari tahun '56-'59.
Ia dihentikan dari keanggautaannya, karena berani menentang kebijaksanaan Bung Kamo yang menyangkut Nasakom serta pembentukan Dewan Nasional.
Sekolah lagi
Sejak menjadi orang sipil.
la memutuskan untuk melanjutkan pelajarannya. Ia mendapat kesulitan karena tidak memilikl ijasah resmi HBS (SMA).
Tetapi akhirnya ia diterima menjadi mahasiswa dl Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejak 1958 hingga sekarang, kuliahnya di fakultas tersebut belum selesai.
"Tinggal bikin skripst saja," kata Bung Tomo. "Sekarang ini saya baru sibuk membuat skripsi."
Mengapa Bung Tomo begitu bersemangat untuk meneruskan pendidikannya?
"Mengapa tidak? Masa itu berjalan terus. Dan saya tidak mau ketinggalan," jawabnya.
"Saya akan melanjutkan pelajaran di bidang lain sepanjang memungkinkan, mungkin dengan hanya studi lewat buku-buku. Agar saya tidak ketinggalan dengan cara berpikir anak muda.
Saya senang dan sering berbicara dengan anak muda dengan dasar berpikir mereka."
"Saya menganjurkan kepada anak muda, agar mereka belajar sebanyak-banyaknya. Pergunakan kesempatan serta fasllitas yang ada sekarang ini.
Karena saya pernah merasakan bagaimana sulitnya belajar tanpa bimbingan seorang guru serta belajar di bawah penerangan lampu cublik."
Masih berani
Menikah dengan Sulistinah pada tahun 1947. Dikaruniai 3 puteri dan 1 putera. Tien Sullstami, Bambang Sulistomo, Sri Sulistaml dan Ratna Sulistaml.
Selaln masih melanjutkan kuliahnya di UI, Bung Tomo sehari-harinya bekerja sebagai notaris.
Perawakannya sedikit gemuk dan agak pendek.
Dalam usia 58 tahun ia maslh nampak sehat, penuh optimis, ramah, riang dan kalau berbicara 'meledak-ledak,' penuh ekspresi dan blak-blakan — sebagaimana halnya arek Suroboyo.
Pernah menulis puisi berjudul "Sajak Sepasang Sendok dan Garpu", yang mengungkap kebobrokan situasi sekarang.
Keberaniannya menyatakan sikap itu tak pemah meluntur dari dada bekas jendral dan pemimpin pasukan yang pernah mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo pada 10 Nopember 1945 Itu.
Artikel ini sudah tayang di Intisari Online dengan judul: "Bung Tomo Masih Sempat Bikin Skripsi Karena Tak Ingin Ketinggalan Seperti Anak Muda Sekarang"