Anggota DPR Serukan Myanmar Tiru Indonesia Dalam Mengolah Keberagaman dan Demokrasi

India masih berusaha memberikan catatan keberatannya dalam pengajuan draf resolusi yang akan dihasilkan IPU.

Editor: Hartati
Tribunsumsel.com/ M Ardiansyah
Rohingya 

TRIBUNSUMSEL.COM, SAINT PETERSBURG - Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Nurhayati Ali Assegaf naik pitam dalam forum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-137 di Saint Petersburg, Rusia, Sabtu (14/10/2017).

Nurhayati tidak terima saat salah seorang anggota parlemen India menyatakan keberatan atas usul Indonesia untuk memasukkan isu Rohingya dalam emergency item sidang IPU.

Parlemen India bersikap bahwa Rohingya tidak seharusnya menjadi perhatian IPU lantaran merupakan aksi terorisme.

Nurhayati pun langsung interupsi atasi pernyataan senator India itu.

"Bagaimana bisa Rohingya korban disebut sebagai teroris? Mereka membunuh manusia dengan mengatasnamakan demokrasi," ujar Nurhayati di Parliamentary Center.

Menurut dia, seharusnya Myanmar bisa mencontoh Indonesia dalam mengelola keberagaman dan demokrasi.

Delegasi Dewan Perwakilan Rakyat yang terdiri dari Nurhayati Ali Assegaf, Titiek Soeharto, dan Vanda Sarundajang dalam salah satu sidang Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-137 di Saint Petersburg, Sabtu (14/10/2017). Parlemen Indonesia dalam forum itu mendorong penyelesaian kasus kekerasan etnis Rohingya di Myanmar.
Delegasi Dewan Perwakilan Rakyat yang terdiri dari Nurhayati Ali Assegaf, Titiek Soeharto, dan Vanda Sarundajang dalam salah satu sidang Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-137 di Saint Petersburg, Sabtu (14/10/2017). Parlemen Indonesia dalam forum itu mendorong penyelesaian kasus kekerasan etnis Rohingya di Myanmar. ((KOMPAS.com/SABRINA ASRIL))

Candi Borobudur menjadi bukti bahwa demokrasi di Indonesia bisa melindungi umat minoritas maupun mayoritas.

"Borobudur yang merupakan tempat Buddha dijaga oleh muslim yang mayoritas di Indonesia," kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.

Oleh karena itu, Nurhayati menyatakan kekerasan yang diterima etnis Rohingya sama saja mengorbankan manusia demi menjaga kekuatan pemerintah di sana.

"Sudah saatnya isu ini tak hanya menjadi perhatian Asia, tetapi juga dunia. Kami mendorong agar Rohingya diakui sebagai warga negara untuk mendapatkan haknya," ucap dia.

India masih berusaha memberikan catatan keberatannya dalam pengajuan draf resolusi yang akan dihasilkan IPU.

Sementara Myanmar yang menjadi sorotan selama pelaksanaan IPU lebih memilih tak bersuara.

Perhelatan IPU ke-137 diikuti sepuluh orang anggota DPR RI.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menjadi pimpinan delegasi kali ini.

Anggota dewan lainnya adalah Nurhayati Ali Assegaf (Partai Demokrat), Evita Nursanty (PDI-P), Siti Hediati Soeharto (Golkar), Rofi Munawar (PKS), Vanda Sarundajang (PDI-P), Dwi Aroem Hadiatie (Golkar), Jon Erizal (PAN), Jazuli Juwaini (PKS), dan Amelia Anggraini (Nasdem).

Berita ini sebelumnya sudah diterbitkan di Kompas.com dengan judul Anggota DPR Naik Pitam saat Parlemen India Sebut Rohingya Teroris

Protes dan Kecaman Terus Mengalir Terkait Rohingya, Aung San Suu Kyi Beladiri Enggan Disalahkan

TRIBUNSUMSEL.COM - Sekian lama tutup mulut, akhirnya Aung San Suu Kyi akhirnya tanggapi tekanan bertubi dunia internasional terkait tragedi Rohingya.

Ia malah balik menuding, tuduhan ke Myanmar berawal dari informasi palsu! 

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menilai, sentimen anti-Myanmar yang berkembang di berbagai negara merupakan buah dari kampanye kabar bohong ( hoax) yang dibuat "untuk mempromosikan kepentingan teroris”.

"Gelombang simpati masyarakat internasional terhadap etnis Rohingnya dibidani oleh "gunung es raksasa berupa informasi palsu," kata Suu Kyi seperti dilaporkan Deutsche Welle, Rabu (6/9/2017).

Menurutnya, kampanye kabar bohong tersebut "sengaja dibuat untuk mempromosikan kepentingan teroris."

Pernyataan tersebut dipublikasikan menyusul desakan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang menyebut perlakuan militer Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya sebagai "genosida."

Namun Suu Kyi mengatakan, militer justru "melindungi semua penduduk" di negara bagian Rakhine.

Tekanan internasional terhadap Suu Kyi belakangan kian menggunung menyusul gelombang pengungsi Rohingya yang mencapai lebih dari 140.000 orang sejak 25 Agustus lalu.

Sejumlah pengungsi mengklaim, tentara pemerintah membunuh warga sipil, memerkosa perempuan, dan membakar desa-desa untuk menghalau militan Arakan Rohingya Salvation Army.

Suu Kyi mengecam penyebaran kabar hoax seputar korban Rohingya seperti ulah Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Simsek, yang memuat foto jenazah korban bencana dan perang di tempat lain, tapi mengklaimnya sebagai korban Rohingya.

Kabar hoax serupa juga sempat ramai menyemuti media-media sosial di berbagai negara Muslim sejak beberapa pekan terakhir.

Bahkan mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring sempat mengunggah foto korban pembantaian etnis muslim Rohingya di Rakhine State, Myanmar, di akun Twitter pribadinya.

Kemudian Tifatul mengaku keliru mengunggah foto tersebut, namun dia dikritik netizen karena tidak mengecek terlebih dahulu kebenaran foto sebelum mengunggahnya.

Namun, begitu tidak semua kabar mengerikan yang tersiar soal militer Myanmar merupakan kabar bohong. 

Awal tahun ini penyidik Perserikatan Bangsa-bangsa menyebut Tatmadaw (sebutan militer Myanmar) menggunakan "kekejaman mengerikan" selama operasi militer yang bisa dianggap sebagai pembersihan etnis terhadap minoritas Rohingya.

Pemerintahan Suu Kyi menepis tudingan tersebut dan menolak memberikan visa bagi pejabat PBB yang berkaitan dengan laporan tersebut.

Dia malah balik menuding PBB bekerjasama dengan teroris untuk membibit sikap antipati terhadap pemerintahan resmi Myanmar. (Kompas.com/ Pascal S Bin Saju/ Sumber: Deutsche Welle)

Suu Kyi dan Etnis Rohingya
Suu Kyi dan Etnis Rohingya (Daily Pakistan)

Mencari Solusi Rohingya... 

SOLUSI konkret. Itu yang dibutuhkan Rohingya sekarang. Kalau pakai kata Presiden Joko Widodo, “Perlu sebuah aksi nyata, bukan hanya pernyataan kecaman-kecaman.”

“Pertanyaannya, langkah konkret itu yang seperti apa?” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, saat dihubungi melalui telepon, Senin (4/9/2017).

Lewat akun Facebook-nya, Presiden pada Minggu (3/9/2017) malam mengeluarkan sembilan poin pernyataan soal krisis kemanusiaan Rohingya di wilayah Rakhine, Myanmar.

Pernyataan itu juga mencakup penugasan bagi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi untuk turun langsung melobi Myanmar dan pengerahan bantuan kemanusiaan.

Menurut Hikmahanto, bantuan kemanusiaan pun belum bisa sepenuhnya disebut sebagai langkah konkret untuk solusi permasalahan di Rakhine. 

“Bantuan kemanusiaan itu seperti pemadam kebakaran. Hulu persoalannya di Myanmar, (yaitu) soal kewarganegaraan (Rohingya),” kata dia.

Dalam pertemuan dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada Senin ini, Hikmahanto berharap Retno dapat menegaskan kekerasan yang sekarang terjadi di Rakhine sudah memenuhi kategori genosida dan pembersihan etnis.

“Banyak negara sudah menyatakan (soal terpenuhinya kategori) itu,” sebut Hikmahanto.

Pertama, hentikan dulu kekerasan

Bicara Rohingya, tarikan sejarahnya tak hanya hitungan hari, bulan, atau bahkan tahun. Solusinya pun tidak bisa semata penyelesaian biasa, karenanya.

“Ini juga bukan kasus kekerasan spontan saja, melainkan struktural, massif, dan sudah berlangsung lama bahkan sejak sebelum negara itu lepas dari pendudukan Inggris,” ujar Dosen Hukum HAM Universitas Indonesia, Heru Susetyo, dalam percakapan telepon, Senin.

Karenanya, kata Heru, perlu pendekatan komprehensif yang memenuhi pula rasa keadilan dan memperhatikan masalah kesejahteraan dan keadilan sosial selain soal keamanan.

Namun, lanjut Heru, apa pun solusi yang akan ditempuh, syarat pertamanya adalah penghentian kekerasan terhadap Rohingya.

Meski demikian, orang-orang yang terindikasi melakukan tindakan kriminal—dari kubu mana pun—juga tetap harus diproses pidana. Sesudah itu, hentikan proses diskriminasi sekaligus pemberian pengakuan kewarganegaraan Myanmar kepada Rohingya.

“Tidak ada negara lain yang dapat menerima mereka selain Myanmar, karena mereka sudah berabad-abad tinggal di situ,” tegas Heru. 

Senada dengan Heru, Hikmahanto pun tak melihat ada negara lain yang punya cukup dasar melebih Myanmar untuk memberikan pengakuan kewarganegaraan kepada Rohingya.

Asal-usul dan jejak perpindahan Rohingya selama konflik geopolitik lintas-generasi, menurut Hikmahanto tak lagi sahih menjadi dalih Myanmar untuk mengelak.

Analogi yang disodorkan Hikmahanto adalah mengandaikan orang keturunan Jawa yang lahir dan besar di Suriname terlibat konflik sosial lalu dipaksa balik ke Banyumas, Jawa Tengah.

“Mana bisa begitu? Mereka sudah lama tinggal di situ,” kata dia.

Heru menambahkan, persoalan geopolitik terkait Rohingya bahkan sudah berlangsung sejak sebelum etnis ini mayoritas beragama Islam.

Bola di tangan Myanmar

Dari semua catatan tersebut, Heru berpendapat saat ini bola persoalan Rohingya memang ada di tangan Myanmar.

Mau tidak mau, kata dia, Myanmar harus mau menerima dan memberikan kewarganegaraan pada Rohingya.

“Terlebih lagi, persoalan ini mencuat terutama sejak junta militer berkuasa pada 1960-an, lalu ditambah ada Burma Citizenship Law pada 1982 yang tak mengakui etnis ini sebagai warga negara. Sekarang kan sudah rezim sipil, Myanmar harus bisa memberi pengakuan (kewarganegaraan),” kata Heru.

Jauh-jauh hari, pengingkaran soal hak kewarganegaraan dalam Burma Citizenship Law tersebut sudah menjadi kajian kritis antara lain oleh Human Right Watch.

Rincian tersebut diurai dalam satu bab berjudul "Discrimination in Arakan" pada salah satu laporannya. 

Tanpa ada itikad baik Myanmar, Heru berpendapat persoalan Rohingya akan terus menjadi lingkaran setan di kawasan Asia Tenggara.

Bersamaan, imbuh dia, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, ASEAN, dan PBB juga tak boleh tinggal diam.

“Bila ini terus dibiarkan, dampaknya tak hanya dirasakan Myanmar dan Banglades, tetapi bisa jadi problem besar bagi negara-negara di kawasan hanya karena abainya Myanmar dan diamnya ASEAN,” ungkap Heru.

Sejauh ini, imbas masalah Rohingya di Myanmar yang sudah dirasakan negara-negara Asia Tenggara adalah pengungsi dan manusia perahu. Banglades, Thailand, Indonesia, dan Malaysia, sudah terkena "limpahan" pengungsi ini.

Penyelesaian persoalan Rohingya sudah tak cukup dilakukan melalui perundingan tanpa ada langkah nyata.

Lagi pula, ujar Heru, masalah Rohingya juga sudah meluas ke soal kemiskinan dan rendahnya pendidikan.

Alasan etnis ini diduga merupakan kelompok kriminal juga ditepis Heru.

Menurut dia, hanya segelintir Rohingya yang melakukan itu, sementara ada lebih banyak Rohingya terimbas kekerasan termasuk perempuan dan anak-anak.

“Myanmar harus bertanggung jawab. Berikan juga hak-hak (kewarganegaraan) setelah rekognisi,” tegas Heru.

Jangan sampai, harap Heru, situasi ini sampai dimanfaatkan oleh kepentingan lain yang semakin memperparah persoalan atas nama berbagai sentimen.

raihanalivi
instagram.com/raihanalivi

Bila Myanmar tak juga punya nyali

Bila kekerasan di Rakhine tidak juga dihentikan, kata Hikmahanto, masyarakat internasional dapat bertindak atas Myanmar.

Landasan tindakan internasional ini adalah konsep responsibility to protect (R2P).

R2P, papar Hikmahanto, dalam hukum internasional merupakan konsep yang memungkinkan tindakan lintas batas wilayah kedaulatan untuk memastikan kejahatan kemanusiaan tidak terjadi. Pembersihan etnis dan genosida masuk kategori kejahatan kemanusiaan.

Bentuk dari tindakan R2P, sebut Hikmahanto, bisa mencakup sanksi ekonomi hingga penggunaan kekerasan (use of force).

“Dalam konteks ini, ASEAN dapat melaksanakan R2P untuk menyelamatkan Rohingya,” kata dia. 

Sidang darurat ASEAN pun karenanya memungkinkan digelar untuk membahas persoalan ini.

Bila sidang memutuskan telah terjadi upaya pembersihan etnis di Rakhine, sanksi bisa dijatuhkan supaya kekerasan dihentikan.

“Kalau (sanksi) tidak bisa juga (menghentikan kekerasan), tentara masuk (ke Myanmar) tapi harus pakai mandat PBB,” tegas Hikmahanto.

Isu makar atau kepentingan penguasaan kekayaan alam Rakhine oleh Rohingya dibantah pula oleh Heru.

Menurut dia, konflik panjang yang melibatkan Rohingya—sekali lagi—telah menempatkan mereka sebagai orang-orang miskin dan kurang pendidikan yang rawan berlanjut bila persoalan hulu soal kewarganegaraan itu diselesaikan.

“Masa mau selamanya mereka jadi stateless ethnic, etnik tanpa negara?” tanya Heru.

Meski menggunakan nama resmi negara kesatuan (union), kata Heru, Myanmar yang sebelumnya bernama Burma adalah negara etnis.

Salah satu buktinya, sebut dia, adalah penyebutan “division” dan “state” untuk suatu wilayah berdasarkan etnis yang tinggal di sana.

Mau mendorong solusi untuk Rohingya? Desak penghentian kekerasan dan pengakuan kewarganegaraan mereka, sekarang! (Kompas.com/ Palupi Annisa Auliani)

Dilansir dari Kompas.com dengan judul Suu Kyi: Simpati terhadap Rohingya Lahir dari Kampanye “Hoax”

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved