HUT ke 72 Indonesia Merdeka

Terungkap, Ini Alasan Laksamana Maeda Biarkan Rumahnya Jadi Tempat Menyusun Proklamasi

Wanita yang berdiri di sebelah kanan Ibu Fatmawati Soekarno tatkala Sang Saka Merah Putih dikibarkan untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Agustus 194

IST/Intisari
Laksamana Muda Maeda 

Tercapai mufakat, naskah Proklamasi hanya ditandatangani oleh Soekarno-Hatta “Atas nama Bangsa Indonesia”.

Pak Sayuti yang hadir pada malam itu ditugaskan mengetik naskah yang disetujui dan keesokan harinya dibaca oleh Bung Karo di depan rumah Pegangsaan Timur 56.

“Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkatnya. Jakarta 17 Agustus 1945. Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta.”

Itulah naskah asli, jadi bukan tulisan tangan Bung Karno yang fotokopinya kini menghiasi buku-buku dan dianggap sebagai naskah resmi.

Seperti dituturkan di atas, naskah tulisan tangan Bung Karno itu kemudian diubah dan perubahan itu diketik oleh pak Sayuti.

 Seorang historicus Indonesia, menyatakan, peristiwa Proklamasi itu masih begitu dekat jaraknya dengan kita, sehingga tulisan-tulisan yang ada, tak dapat dikatakan historischobjektif.

Diperlukan adanya distansi yang lebih jauh untuk menjadikan tulisan yang objektif.

Sebaliknya semakin banyak tulisan tentang peristiwa bersejarah itu, semakin baik sebagai sumber penulisan sejarah di kemudian hari.

Terutama tulisan-tulisan oleh orang-orang yang ikut serta dalam peristiwa-peristiwa itu.

Orang seperti Pak Sayuti Melik dapat menyumbangkan tulisannya. 

Pemuda kelahiran Sleman itu pejuang sejak muda.

Dari usianya yang kini 55 tahun setengah, 17 tahun ia habiskan dalam penjara. Tatkala berusia 25 tahun, sudah 8 tahun ia meringkuk dalam penjara Digul.

Ia mulai berjuang dalam usia 16 tahun, waktu itu pelajar Sekolah Guru di Solo. Salah satu gurunya dalam perjuangan ialah Ali Archam, baru kemudian menjadi murid Bung Karno.

Ia tertarik kepada PKI karena disanalah semangat radikal dan revolusionernya terpenuhi.

Kemudian setelah mempelajari ajaran Bung Karno dan buku-buku Marxisme-Leninisme lebih mendalam, dan kenyang keluar-masuk penjara, keyakinannya berubah.

Tetap menjunjung Marxisme, tetapi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi-kondisi di Indonesia.

Pada tahun 1933 keluar dari penjara Digul, lalu bekerja seabgai “cattle attendant” (penjaga ternak) pada kapal asing.

Sekali waktu ia dibentak oleh Kapten kapal karena enggan menyerahkan tempatnya yang teduh dalam kapal untuk ternak-ternak.

Ia menetap di Malaya, bergerak di bawah tanah menjadi anggota Partai Komunis Malaya dan Ketua Liga Anti Imperialis Asia Tenggara.

Kemudian ketahuan dan dipenjarakan. Pada tahun 1937 dibebaskan, tetapi harus meninggalkan wilayah Inggris.

Ternyata mereka sudah “tst” dengan pemerintah Belanda, buktinya sampai di Jawa terus langsung dimasukkan penjara.

Baru tahun 1938 dibebaskan. Terus ke Semarang dan bekerja sebagai penjual kain.

Di sana bertemu dengan Sulastri alias S.K. Trimurti, murid Bung Karno yang pada masa itu memimpin majalah Suara Marhaeni.

Dalam penjara tahun 1937, pak Sayuti  merasa paling bahagia. Mengapa? Karena dalam penjara ia merasa lebih “bebas” daripada di luar penjara.

Bebas membaca buku, makan, tidur, berpikir. Orangtua, saudara, sengaja tak ia pikirkan agar tak menyedihkan hati, malahan memberitahu kepada mereka pun tidak.

Di Semarang ada surat kabar Sinar Selatan yang dipimpin oleh seorang Jepang, Hiraki namanya. Pak Sayuti sering menulis tajut untuk surat kabar itu. Akibatnya ia masuk penjara lagi.

Kemudian ia menerbitkan majalah Pesat, sampai 1941. Dalam zaman Jepang masuk penjara lagi.

Dari penjara ia ikut sayembara mengarang tentang “Kebudayaan dan Kemerdekaan” dengan nama samaran Mantri Penjara.

Juri dari sayembara itu antara lain Bung Karno dan almarhum Prof. Moh. Yamin SH.

Karangan pak Sayuti mendapat hadiah pertama. Tetapi yang menerima hadiahnya bukan penulisnya yang pada saat penyerahan hadiah masih meringkuk dalam penjara, melainkan R.M. Hadikusumo yang kedudukannya sebagai Mantri Penjara dipimjam oleh pak Sayuti.

Pada peristiwa 3 Juli 1947 pak Sayuti masuk penjara lagi sampai 2 tahun, sekalipun akhirnya dibebaskan karena ia memang tak ikut dalam gerakan itu.

Perjuangan pak Sayuti dan bu Trimurti dianugerahi oleh Pemerintah dengan pengangkatan mereka sebagai Mahaputera.

Dianugerahi juga 2 orang anak lelaki, yang satu kadet AMN, satunya lagi calon sarjana ekonomi seperti ibunya. Sudah 1 tahun lebih Bu Trimurti memperdalam ilmu di Yugoslavia.

Kalau mau, dengan bakat dan jasa perjuangan seperti pak Sayuti suami-istri, tak sukar kiranya menciptakan suasana hidup mewah.

Tetapi suami-istri itu tetap setia kepada prinsip perjuangan. Hidup mereka tetap di rumah Kramat Lontar yang amat sederhana dan karena itu menyegarkan jiwa.

Sering ia berkata, “Sudah 40 tahun saya berjuang. Paling lama 5 – 10 tahun lagi saya hidup. Karena itu tak mau saya nodai perjuangan saya karena kedudukan ataupun rasa takut.”

Tulisan-tulisannya terus terang, jujur, bukan mencerminkan penyanjungan yang mempunyai pamrih, melainkan keyakinan yang dihayati sehari-hari.

Seorang rekan berkata, “Jika Proklamasinya masih murni.”  (Intisari/K. Tatik Wardayati)

Berita ini telah dimuat di Intisari dengan judul: Inilah Alasan Sebenarnya Laksamana Muda Maeda Biarkan Rumahnya Jadi Tempat Menyusun Naskah Proklamasi. Jangan Kecewa, Ya!

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved