Tragis! Pacaran Lalu Sering 'Main' Bareng di Tempat Ini, Ternyata Sang Wanita Penderita AIDS
Melakukan seks bebas selain bisa mengakibatkan kehamilan diluar nikah. Berisiko juga tertular penyakit
Hari-hari berikutnya kami sering saling SMS dan video call.
“Sebenarnya aku janda, usiaku 31 tahun,” ungkapnya berterus terang.
Aku yang lebih muda lima tahun dan masih perjaka, tak peduli dengan penjelasannya.
Kecantikan wanita tersebut telah mengesampingkan segalanya bagiku.
Kami akhirnya sering janjian untuk bertemu. Getar-getar cinta menggelora.
Namun aku tak pernah bisa menyentuhnya.
Itu yang membuatku semakin kagum.
“Dia wanita terhormat,” pikirku.
Suatu hari, ia meminta tolong padaku. Ia mengeluarkan sebuah cek atas namaku senilai 30.000 Riyal, tiket ke Jakarta dan voucher menginap tiga hari di salah satu hotel di puncak Bogor.
“Pergilah kamu kesana, setelah tiba di bandara Jakarta hubungi nomor ini dan ia akan mengantarmu ke hotel. Apakah kamu bersedia?”
“Pasti, sayang. Demi kamu pasti akan kulakukan,” aku segera menerima permintaan itu meskipun harus mengambil cuti dari kantor.
Tiba di Jakarta, aku dijemput orang suruhan wanita tersebut lalu segera menuju hotel yang berada di Puncak. Setelah sampai hotel kuhubungi kembali nomor wanita itu.
“Kamu kaget ya? Aku sengaja mengundangmu kemari untuk menjelaskan banyak hal.
Datanglah ke kamar nomor 212.”
Sampai di kamar nomor 212. Ia telah menyambutku dengan pakaian menggoda.
Mulanya kami hanya berbincang, hingga terjadilah perbuatan keji itu. Aku telah berzina dengannya.
Dan itu terulang beberapa kali selama kami berada di Puncak Bogor.
Setahun sudah aku menjalin hubungan dengannya.
Hingga suatu hari, aku mengalami kecelakaan bersama saudaraku.
Ia mengalami pendarahan hebat dan segera dimasukkan ke ruang operasi.
Dokter memintaku yang kebetulan selamat dalam kecelakaan itu untuk donor darah.
Sesaat setelah melakukan pemeriksaan darahku, dokter datang dengan wajah lesu.
“Kenapa dengan saudara saya, Dok. Katakan, Dok”
“Engkau harus percaya dengan takdir Allah, Nak”
“Apakah saudara saya meninggal?”
“Tidak”
“Lalu kenapa?”
“Darahmu terkena virus HIV,” kata-kata itu terdengar bagaikan petir yang menyambar di siang hari. Saya langsung pingsan.
Setelah sadar, tubuhku gemetar. Ya Allah… sejak kapan aku mengidap penyakit mematikan ini?
“Sebenarnya engkau belum terkena AIDS, tetapi darahmu mengandung HIV”
Ya Allah… Ya Allah.... Tiba-tiba terbayang semua dosa yang kulakukan.
Aku terus menerus berdzikir dan berdoa.
Dua hari setelah insiden itu, saudaraku meninggal dunia.
Aku lebih merasa bersalah lagi.
Tidak bisa membantu transfusi darah, dan juga ingat dialah yang dulu menasehatiku agar menjauhi wanita tersebut.
“Kamu di mana sayang? Lama tidak bertemu,” wanita itu meneleponku sepekan setelah aku kehilangan saudaraku.
“Apa maumu?” jawabku dengan nada marah.
“Kamu kenapa?”
“Saudaraku meninggal dan aku sangat terpukul”
“Yang penting kau masih hidup. Kapan kita bisa bertemu?” ia bahkan tidak mendoakan saudaraku.
“Kita tidak akan pernah bertemu lagi”
“Kenapa?”
“Aku mencintaimu dan tak mau kau celaka?”
“Ada apa?”
“Aku terkena HIV”
“Bagaimana kau tahu?”
“Saat saudaraku kecelakaan, aku diminta donor darah. Ternyata darahku mengandung HIV”
“Apakah kau pernah berhubungan dengan wanita lain selain diriku?”
“Tidak”
“Apakah kau pernah transfusi darah sebelumnya?”
“Tidak”
“Kalau begitu, hidupmu tak berguna, engkau sebentar lagi pasti mati”
“Apa maksudmu?”
“Sebenarnya, aku memang mengidap AIDS. Dan aku bertekad akan membalas dendam. Aku akan menularkan penyakit ini pada setiap laki-laki yang tergoda denganku. Engkau adalah kelinci percobaan pertamaku.”
“Cukuplah Allah sebagai pelindung, dasar wanita pengindap AIDS, wanita… ...” Aku sungguh geram. Emosi. Kata-kata kasar keluar dari lisanku.
Hari-hari berikutnya aku jalani dengan penderitaan panjang.