Politik Uang Makin Marak Jelang Pilkada, Modusnya Kian Beragam dan Sulit Dipidanakan
Pengadilan kerap kali mendefinisikan politik uang dengan kata lain, yaitu biaya politik. Dengan demikian, pelaku bisa lolos dari jerat hukum.
TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti, mengatakan, bentuk dan jenis politik uang dalam pilkada kian berkembang.
Pelaku terus mengubah agar lolos dari jeratan pidana.
Karena itu, pemangku kepentingan seperti Bawaslu, kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, perlu peka dengam ragam bentuk politik uang.
Kepekaan kuat perlu dimiliki Bawaslu sebagai garda terdepan untuk mengusut politik uang.
"Kalau kemampuan Bawaslu tidak ada, bisa saja praktik-praktik itu tidak bisa dinyatakan, definisikan politik uang," kata Ray di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Senin (13/2/2017),
Dia mencontohkan politik uang dengan modus pengobatan massal.
Modus itu menggunakan kata-kata yang menunjukkan pada kandidat tertentu, tetapi menafikan kandidat lain.
Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, mengatakan, setidaknya ada lima kesulitan yang kerap kali ditemukan dalam membuktikan politik uang.
Kesulitan pertama adalah pelaku politik uang bukan berasal dari tim pemenangan resmi pasangan calon.
Bila tertangkap atau terungkap, pelaku bisa berkilah bukan dari tim sukses.
Situasi ini tentu tak akan berdampak pada legalitas kandidat.
Kesulitan kedua adalah rendahnya partisipasi masyarakat untuk melaporkan politik uang.
Selama ini Bawaslu kerap mengeluhkan soal rendahnya laporan dari masyarakat.
Apalagi bila Bawaslu tak menemukan secara langsung.
Kesulitan ketiga terjadi silang pendapat instansi di sentra penegakkan hukum terpadu (gakkumdu).