Sekampung Kaya Mendadak
Eksklusif: Gara-gara KEK TAA, Warga Desa Ini Jadi Miliarder Mendadak
Banyak mata sekarang mengarah ke warga desa yang kini menjadi milianer baru. Sebab lebih dari 18 orang memperoleh biaya penggantian lebih dari Rp 1 mi
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Ribuan pohon kelapa di Desa Teluk Payo, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin sudah sepekan ini tidak dipanen.
Petani tidak boleh lagi beraktivitas di lahan seluas 64 hektare yang sudah dibebaskan untuk pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-api.
Uang sebesar Rp 39 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumsel telah digelontorkan untuk 25 warga setempat, Rabu (21/12) dan Kamis (29/12) kemarin.
Banyak mata sekarang mengarah ke warga desa yang kini menjadi milianer baru. Sebab lebih dari 18 orang memperoleh biaya penggantian lebih dari Rp 1 miliar.
Masing-masing warga menerima besaran berbeda, sesuai dengan luasan lahan yang dimiliki.
Selain perhitungan luas lahan, tim pembebasan lahan juga menghitung jumlah dan usia pohon kelapa di atas lahan tersebut.
Satu pohon ada yang dihargai Rp 400 ribu sampai Rp 600 ribu.
Andu, warga Desa Teluk Payo yang mendapatkan biaya pembebasan lahan sebesar Rp 700 juta, masih tetap tampil seperti biasanya.
Ia masih seperti warga lainnya, menggunakan celana pendek dan baju kaos yang warnanya mulai pudar.
Sudah beberapa hari ini ia menumpang di rumah keluarganya sejak lahannya dibeli pemerintah.
Tidak boleh lagi ada aktivitas di sana, padahal ia selama ini tinggal di sebuah rumah semi permanen di tengah lahan perkebunan.
“Uang itu yang paling utama untuk saat ini digunakan untuk buat rumah baru."
"Saya sudah beli tanah sekapling ukuran 15x20 meter seharga Rp 20 juta,” ujar bapak tiga anak ini dibincangi sesaat sebelum masuk waktu salat Jumat.
Harga tanah itu terbilang cukup tinggi dibandingkan beberapa tahun lalu.
Padahal harga tanah sekapling sewaktu belum heboh KEK hanya Rp 20 juta sampai Rp 30 juta.
Andu, pria keturunan Bugis ini memeroleh uang Rp 700 juta dari pembebasan lahan kebun kelapanya yang tidak sampai 1,5 hektare.
Ada 100an pohon kelapa di lahan itu. Setiap batangnya dihargai sekitar Rp 400 ribu.
“Sehektar lebih yang dibebaskan. Aku beli lahan ini pada tahun 2000, dua hektare setengah hanya Rp 5 juta,” ungkapnya.
Tetapi kondisi saat itu sangat berbeda dengan sekarang.
Belum ada jalan cor dan aspal, warga mengangkut hasil kelapa menggunakan perahu ketek.
Dibawa ke Kenten Laut atau Borang, kemudian dijual ke beberapa pasar tradisional di Palembang.
Andu sekarang masih memiliki lahan sehektare lebih sedikit yang sudah ditanami kelapa siap. Kebun kelapa ini biasa dipanen setiap tiga bulan.
Setiap hektare bisa menghasilkan pendapatan “kotor” sekitar Rp 10 juta.
Selain membuat rumah baru, Adun berencana menggunakan uang itu untuk biaya sekolah anaknya.
“Tidak ada niat pindah Palembang, sebab mata pencaharian di sini. Kalau ada orang mau jual kebun akan dibeli,” tambahnya.
Ia mengakui, sekarang banyak orang mengatakan desa mereka di tahun-tahun mendatang akan semakin ramai.
Bahkan beberapa waktu lalu ia pernah berjumpa dengan orang yang mengambil sampel tanah yang katanya untuk pembangunan jalan tol dan rel kereta api.
Tetapi di beberapa benak warga desa mulai muncul kekhawatiran, apakah mereka masih tetap di sana dan bagaimana nasib mereka nanti.
Sebab selama ini warga desa hanya mengandalkan hidup dari berkebun kelapa.
Pembayaran pembebasan lahan ini terbilang lama.
Sesuai jadwal yang disusun, pembebasan ini sudah dimulai pada 2014 dan ditargetkan selesai pada 2015.
Nyatanya pembebasan hanya sebagian lahan baru terealisasi di akhir 2016.