Saya Bangga Dijuluki Dono Sampah

Inilah Hanar Dono, pria keturunan Jawa, lahir dan dewasa di Palembang dan menetap di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI).

Editor: M. Syah Beni
TRIBUNSUMSEL/ WENI WAHYUNY
Foto Bersama Kadispora Sumsel H Akhmad Yusuf Wibowo, Pemuda Pelopor 2012 Hanar Dono dari Kabupaten PALI dan peserta Pelatihan Dasar Kewirausahaan Pemuda Provinsi Sumsel di Hotel Sahid Imara, Jumat (29/7) 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG- - Tiba-tiba ia menyingkirkan mikrofon di depan mulutnya.

Di hadapan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sumsel H Akhmad Yusuf Wibowo dan peserta Pelatihan Dasar Kewirausahaan Pemuda Provinsi Sumatera Selatan tahun 2016 ia bercerita suka duka menjadi Pemuda Pelopor.

Inilah Hanar Dono, pria keturunan Jawa, lahir dan dewasa di Palembang dan menetap di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI).

Pada tahun 1997, saat usianya 26 tahun, ia dan istri memutuskan hijrah ke Kabupaten PALI yang saat itu masih disebut Kabupaten Muara Enim, tepatnya di Desa Tanah Abang.

Pada tahun 2008, Dono memutuskan untuk membuka usaha yang menurut akal sehat orang-orang bahkan istrinya menganggap ia gila karena "terobsesi" dapat memanfaatkan sampah menjadi pundi-pundi rupiah.

Ia merasa bangga menjadi warga Sumsel, terlebih mendapatkan mertua asal PALI yang suka buat pekasam (makanan dengan bahan baku ikan yang sudah difermentasi).

"Ikan mati, kalau dibiarkan begitu saja bau bangkai, jadi kalau fementasi tadi, ikan bisa dimakan. Awalnya saya aneh dengan makanan itu, setelah saya coba ternyata enak," kata Dono.

"Ternyata, ada yang terlupa. Air dari bekas fementasi itu kan dibuang. Saya coba ambil fermentasi itu, saya amati dari fermentasi ini, ikan bisa menjadi hancur, bahkan durinya pun lunak seperti masak pakai presto," tambah Dono.

Pria lulusan SMP ini melanjutkan pada tahun tersebut, ia melihat celah bisnis yang orang lain tidak mau menyentuhnya.

Ia mengatakan sepanjang jalan Desa Purun hingga Tanah Abang banyak tumpukan sampah, baunya sangat menyengat sehingga mengganggu sekitar.

Karena melihat kearifan lokal Sumsel inilah, ia bereksperimen secara otodidak dan melihat perilaku masyarakat pribumi.

"Saya ambil air fermentasi pekasam tadi, saya siramkan ditumpukan sampah tersebut. Dan ternyata didiamkan selama 7 hari, tumpukan sampah hilang baunya. 14 hari saya lihat yang tadinya tumpukan bangkai anjing, daun-daunan dan lain sebagainya ternyata sudah terurai. Dari situ saya coba. Juli 2008 saya buat gerobak, saya ambil sampah dari pasar dan saya kelola sehingga menjadi pupuk kompos,"

"Pada tahun 2008 bulan September, istri saya tidak dukung, saya dianggap gila dan kurang kerjaan, jadi istri saya lebih memilih tinggal di rumah ibunya. Sementara Saya tetap tinggal di pabrik sampah karena saya mendapatkan dorongan dari seseorang bernama Firdaus," ungkap Dono.

Selama hampir dua tahun tidak berkumpul bersama istri, akhirnya pada 2010 ia berkumpul kembali karena sang istri mulai menyadari bahwa suaminya tidak gila.

"Saya bangga dapat julukan dono sampah. Untuk menjadi enterpreneur, jangan malu, jangan ragu dan jangan takut. Sampah kalau kita lihat itu masalah. Tapi bagi saya Sampah adalah Semoga Allah Memberikan Pahala Atas HambaNya," ujar Dono yang kini pupuknya dijual hingga Medan, Bengkulu, Padang dan Provinsi lainnya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved