Semangat Pagi
Pesan RA Kartini Bagi Istri Anggota DPR-RI : Perempuan Membawa Arah Keluarga Kemana Harus Berlayar
seperti isi surat RA Kartini, Menjadi perempuan itu mestilah berhemat dan sederhana
TRIBUNSUMSEL.COM- Plesiran sejumlah istri anggota DPR RI menimbulkan sorotan tajam di masyarakat.
Dipimpin istri mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, ibu-ibu itu berkunjung ke Negeri Matahari Terbit Jepang.
Wakil ketua DPR RI Fadli Zon, yang istrinya masuk dalam rombongan itu, mengatakan kunjungan itu tidak menggunakan uang negara dan bukan hasil korupsi. Mereka dijamin tidak pakai anggaran DPR RI. Begitu katanya.
Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, istri-istri anggota DPR yang berlibur ke Jepang itu telah melakukan kekeliruan karena berfoto di bawah pohon sakura dengan membawa spanduk berlogo DPR dan mengatasnamakan Persaudaraan Istri Anggota DPR Periode 2014-2019.
"Mereka hanya keliru, bisa dibilang genit-lah menggunakan spanduk PIA, padahal tidak dalam rangka agenda PIA," kata Ade dikutip Kompas.com.
Mungkin memang benar kunjungan itu pakai uang pribadi. Mungkin juga benar foto-foto yang dirilis itu hanya kekeliruan.
Tidak ada maksud untuk pamer dan sejenisnya. Namun kunjungan anggota DPR dan keluarganya ke luar negeri sudah menjadi stigma di masyarakat. Kunjungan-kunjungan keluar negeri diduga sering menjadi ajang pelesiran.
Kunjungan macam ini sudah jadi hal "rutin" setiap memasuki masa reses.
Meskipun sudah seringkali berulang dan selalu dicap negatif namun masih saja terjadi lagi.
Sebenarnya apa yang salah dengan kunjungan-kunjungan itu? Toh mereka pakai uang sendiri. Toh mereka juga perempuan bekerja yang punya penghasilan sendiri.
Istri Fadli Zon misalnya dikenal sebagai salah satu pejabat tinggi di sebuah perbankan swasta nasional. Beberapa orang lainnya sangat mungkin juga perempuan karier.
Lalu apa yang salah? Salah mungkin tidak. Sejauh mereka ke Jepang tidak pakai uang negara. Tidak minta fasilitas dari Kedutaan Besar Republik Indonesia maka perjalanan itu sah-sah saja.
Mudah-mudahan demikian. Masalahnya mereka mengatasnamakan sebagai perwakilan Persatuan Istri-istri Anggota DPR RI periode 2014-2019.
Itulah yang dimaksudkan Ade Komarudin sebagai sebuah kekeliruan. Atau juga kegenitan ala ibu-ibu.
Bicara soal genit maka yang dimaksud adalah soal hal-hal yang berlebihan.
Hal-hal yang mencari perhatian. Kegenitan sebenarnya bukan hanya milik perempuan. Tetapi milik laki-laki juga. Dan kegenitan yang dimaksud di sini adalah hal berlebihan yang dilakukan ibu-ibu itu.
Ini sebenarnya adalah refleksi sifat sebagian besar pejabat publik kita dan keluarganya. Bersikap sederhana, rendah hati dan menahan diri justru sulit dilakukan.
Sekitar 116 tahun silam, Rajeng Ajeng Kartini sudah mempunyai pemikiran kritis tentang bagaimana seorang perempuan Indonesia harus bersikap.
Kartini dalam suratnya berjudul "Jika Mendapat Izin Dari Bapak" yang ditujukan kepada Nyonya Ovink Soer menuliskan keinginannya untuk belajar ke Eropa.
Ia dan adik-adiknya yang perempuan ingin belajar banyak ilmu dan pengetahuan dari Negeri Eropa. Rukmini akan belajar menggambar dan melukis patung supaya di kemudian hari dapat memberikan tenaga untuk menghidupkan lagi seni Hindia (baca Indonesia).
Dan dimaksudkan dengan demikian ilmu Rukmini kelak akan mampu memakmurkan rakyat.
Adik Kartini yang seorang lagi akan belajar di sekolah rumah tangga supaya kelak dapat mengajarkan kepada gadis-gadis yang bakal jadi ibu tentang faedah berhemat.
Yakni suatu kepandaian yang perlu dipelajari oleh rakyat Jawa yang tidak tahu akan sakit hidup dan gila kebagusan yang berlebih-lebihan.
Adapun Kartini akan belajar jadi guru supaya dapat mengajarkan tentang ilmu pengetahuan, kasih dan adil kepada gadis-gadis yang bakal jadi ibu.
Membaca salah satu kumpulan surat RA Kartini itu semestinya sungguh berdetak hati kaum perempuan saat ini.
Menjadi perempuan itu mestilah berhemat dan sederhana. Dengan demikian perempuan sebagai sekolah pertama di keluarganya dapat membawa arah keluarga kemana harus berlayar. Tidak bergenit-genit.