Ekskusif Tribun Sumsel

EKSKLUSIF: Ini Dia Potret Kumuh Wilayah Seberang Ulu Palembang

Masih banyak keluarga tinggal di perkampungan kumuh. Rumah-rumah mungil berdinding kayu dan atap daun berdiri rapat.

TRIBUNSUMSEL.COM/ABRIANSYAH LIBERTO
Seorang warga mandi di perairan sungai Musi, Palembang, Jumat (19/2/2016). Pemerintah kota Palembang harus lebih memperhatikan tempat kumuh di Kawasan Palembang. 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Kota Palembang seakan tidak hentinya menjadi langganan tuan rumah sejumlah event bergengsi tingkat nasional hingga internasional.

Pembenahan kota semakin gencar, tetapi dampaknya belum dirasakan optimal oleh sebagian masyarakat Seberang Ulu.

Masih banyak keluarga tinggal di perkampungan kumuh. Rumah-rumah mungil berdinding kayu dan atap daun berdiri rapat.

Transportasi juga jadi kendala karena masih banyak warga mengandalkan jalan menggunakan jembatan kayu yang rapuh.

Kondisi berbeda terlihat jelas pada jalanan cor dan aspal di kawasan seberang ilir.

"Kami sudah berdiam di sini sejak tiga puluh tahun terakhir, hidup mengontrak, saat itu pasar belum seramai ini, jalanan banyak belum di aspal. Apalagi kompleks stadion Jakabaring saat itu belum ada apa apa," ungkap Sam (56) warga RT 51 RW 14 Kelurahan 7 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I dibincangi di dalam rumahnya, Kamis (18/2) malam.

Rumah itu memiliki satu ruangan utama yang dijadikan tempat menyambut tamu, sekaligus tempat makan, dan tidur bagi anggota keluarganya. Ukurannya hanya 3x3 meter.

Pemukiman berada kurang dari 200 meter dari aliran Sungai Musi itu merupakan eks pabrik pengolahan kulit yang gulung tikar sekitar tahun 1970.

Sejak itu satu persatu orang berdatangan dan membangun bangunan semi permanen hingga saat ini telah padat dengan rumah.

Mayoritas para penduduk bekerja sebagai buruh pasar 7 Ulu baik buruh angkut , pekerja toko dan pekerjaan serabutan lainnya.

Pemilik tanah setiap bulan mengambil uang sewa, besarannya sesuai dengan kemampuan perekonomian masing masing, biasanya berkisar Rp 50 ribu - Rp 100 ribu.

"Pemilik tanah tidak mematok harga sewa, kami membayar sesuai kemampuan masing masing, kami hanya diminta tidak membangun bangunan permanen, dalam bentuk apapun," ungkapnya

Hal tersebut membuat kondisi kawasan itu menjadi terkesan " kumuh" karena bangunan seluruhnya terbuat dari kayu mulai dari dinding hingga lantai bangunan. Demikian pula fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) yang dibuat sederhana tanpa adanya bangunan permanen.

Khusus untuk kakus, terdapat fasilitas WC umum yang berada di tengah pemukiman, WC itu masih merupakan bangunan eks pabrik pengolahan kulit. Belum pernah ada perbaikan sejak puluhan tahun terakhir sehingga kondisinya sangat memprihatinkan.

"Jangankan untuk membangun fasilitas MCK, untuk pembangunan jalan setapak mulanya juga ditentang oleh pemilik tanah, namun akhirnya berhasil dibangun oleh pemerintah," tegasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved