Pemerintah Diminta Waspadai Kemungkinan Berkembangnya Intoleransi Beragama di Aceh

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, ada 96 praktik intoleransi dan pembatasan kebebasan beragama

KOMPAS.com/NABILLA TASHANDRA
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan catatan situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Sepanjang 2015 di Kantor KontraS Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (26/12/2015) 

TRIBUNSUMSEL.COM-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, ada 96 praktik intoleransi dan pembatasan kebebasan beragama, beribadah, serta berkeyakinan yang terjadi sepanjang 2015.

Salah satu kasus yang dinilai KontraS harus menjadi perhatian serius pemerintah adalah ketegangan sosial terkait sentimen keagamaan di Aceh, khususnya di wilayah Singkil dan Kutacane.

Menurut Koordinator KontraS Haris Azhar, masyarakat Aceh yang menerapkan syariah Islam sebagai hukum lokal dinilai rawan menggunakan syariah Islam untuk menekan toleransi.

"Khususnya ketika pemerintah lokal membangun ruang kompromi dengan ormas (organisasi masyarakat) yang menjunjung advokasi keagamaan garis keras," kata Haris di Kantor KontraS Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (26/12/2015).

Selain Aceh, daerah lain yang dinilainya perlu perhatian serius pemerintah adalah Tolikara, Papua. 

Pemerintah diminta mengelola dengan baik situasi Tolikara setelah terjadinya konflik terkait keagamaan di daerah tersebut.

Jika tidak, kata Haris, maka situasi Tolikara akan menambah pekerjaan rumah bagi negara.

Haris juga menyampaikan bahwa menurut catatan KontraS, tidak ada kemajuan yang dilakukan pemerintah dalam menangani pelanggaran hak beragama sepanjang 2015.

Berdasarkan catatan KontraS, Jawa Barat menjadi wilayah dengan jumlah pelanggaran hak kebebasan beragama terbanyak, yaitu 18 peristiwa.

Adapun di posisi berikutnya adalah DKI Jakarta, Banten, dan Aceh.

"Ini menjadi wilayah-wilayah yang kerap membangun sentimen anti toleransi," ujar Haris.

Anggota Divisi Bidang Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Wirataru mengatakan, rata-rata pernyataan yang disampaikan para menteri terkait isu kebebasan beragama tidak disertai realisasi.

"Tercatat, tiga kali Mendagri mengatakan bahwa dia akan mencabut regulasi yang diskriminatif terkait isu kebebasan beragama, tetapi dari tiga pernyataan itu tidak ada realisasi yang jelas walaupun dia mengatakan sudah mengevaluasi dan mencabut aturan-aturan tersebut," kata Satrio.

Menurut dia, tiga pernyataan tersebut diungkapkan Mendagri Tjahjo Kumolo pertama kali saat terpilih sebagai menteri. (Baca juga: "Prihatin, Respons Pemerintah Tangani Konflik di Aceh Singkil Tak Secepat Tolikara")

Kemudian, Mendagri mengungkapkan hal senada setelah pecahnya insiden Tolikara, dan setelah peristiwa Aceh Singkil.

Ia juga menyinggung soal Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 Perihal Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech.

"Kebijakan SE Hate Speech yang kita harapkan bisa jadi solusi masalah kebebasan beragama ternyata diselewengkan di detik-detik terakhir menjadi suatu kebijakan bisa mengancam kebebasan beragama," tutur Satrio.

Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved