Tukang Bakso Langganan Cendana: Pak Harto itu Pahlawan di Hati Saya
Ia adalah satu-satunya 'wong cilik' yang diizinkan berdagang oleh keluarga Presiden Soeharto di 'jalan sakral', Jalan Cendana sejak 1965.
Namun, pemandangan tersebut bukan kali pertama buat Andi.
Ia dan dua kerabatnya sesama pedagang kerap sepi pembeli sejak pindah berjualan ke halaman rumah tua tersebut sejak lima bulan lalu.
Sebelumnya, Andi menjual baksonya di trotoar ujung jalan, tepatnya di pertigaan Jalan Cendana dan Jalan Yusuf Adiwinata.
Namun, seiring pergantian pemerintahan dan lurah setempat, Andi 'dipaksa' pindah dari trotoar jalan tersebut demi ketertiban dan kenyaman lingkungan.
"Tadinya saya dagang di trotoar pertigaan depan jalan. Tapi, setelah lurah diganti, saya dikasih surat dari kelurahan dilarang dagang lagi dan diminta cari tempat lain. Itu beberapa bulan lalu, belum sampai setahun," ujarnya.
Andi mengaku sempat kelimpungan mendapat ultimaltum 'penertiban' itu.
Ditolong Tommy Soeharto
Lantas, ia menemui dan menyampaikan kegundahannya itu kepada putra kelima mendiang Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau karib disapa Tommy Soeharto.
Tommy datang bak pahlawan buat Andi.
Sebab, Tommy mengizinkannya untuk menempati rumah dekat kediaman Soeharto sebagai tempat tinggal sekaligus tempat menjajakan bakso.
Rumah yang kini menjadi tempatnya berteduh sekaligus tempat berjualan bakso merupakan rumah salah seorang pegawai Tommy yang lama tak dihuni.
"Tadinya rumah ini yang menempati pegawainya Mas Tomy. Sekarang yang pakai kita-kita yang pada dagang," tuturnya.
Andi mengaku mulai merantau dari kampung halaman, Kuningan, Jawa Barat dan berjualan bakso di Jalan Cendana sejak 1965 atau saat masih berusia 15 tahun.
Saat itu, ia menjual baksonya Rp5 per porsi.
Ia mengadu nasib ke ibukota, terkhusus di 'daerah terlarang' Jalan Cendana saat itu karena untuk membantu perekonomian keluarga di kampung halaman.