Mimbar Jumat

Buku dan Urgensi Budaya Baca

PEPATAH Arab mengatakan “sebaik-baik teman duduk di setiap waktu adalah buku”. Bagi seseorang yang memiliki budaya baca tinggi,

zoom-inlihat foto Buku dan Urgensi Budaya Baca
TRIBUNSUMSEL.COM
Icon Tribunsumsel.com

TRIBUNSUMSEL-COM - PEPATAH Arab mengatakan “sebaik-baik teman duduk di setiap waktu adalah buku”. Bagi seseorang yang memiliki budaya baca tinggi, pepatah ini terdengar begitu indah. Tetapi berbeda halnya dengan seseorang yang sama sekali tidak memiliki minat baca, maka justru sebaliknya buku adalah sesuatu yang sangat membosankan.

Berbicara masalah buku erat kaitannya dengan tanggal 23 April, karena pada setiap tanggal tersebut diperingati Hari Buku Sedunia atau yang dikenal dengan World Book Day yang disahkan pertamakali pada konferensi umum UNESCO di Paris tahun 1966. Tujuan diselenggarakannya World Book Day ini sebagai bentuk penguatan budaya baca dalam kehidupan masyarakat khususnya anak-anak.

Namun pada dasarnya jauh sebelum itu, 13 abad sebelumnya Islam telah menyuruh umat manusia untuk senantiasa membaca. Perintah ini terkandung dalam surat Almuddatsir ayat 1-5 sekaligus sebagai ayat perdana yang Allah wahyukan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.

Ayat tersebut diawali dengan bacaan ‘iqra’ (bacalah!) padahal nabi di masa itu adalah seorang ummi (orang yang tidak bisa membaca dan menulis). Tentunya, perintah ‘iqra’ ini memiliki makna tersurat yang mendalam yang harus dihayati oleh umat manusia yang meyakini akan kebenaran Al-Qur’an.

Menurut Prof Quraish Syihab (2010) ‘iqra’ diambil dari rumpun kata ‘menghimpun’, sehingga tidak harus selalu dimaknai membaca teks tertulis. Dengan kata lain ‘iqra’ bisa bermakna meneliti, mendalami, mengetahui dan membaca segala sesuatu selama bacaan tersebut bismi rabbika, artinya bermanfaat bagi kemanusiaan dan kehidupan secara global.

Ironinya, Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia belum bisa mengaplikasikan nilai-nilai ajaran yang terkadung dalam ucapan iqra’ . Dengan kata lain budaya membaca di Indonesia tergolong rendah. Dewasa ini, banyak diantara anak-anak kecil yang lebih mengenal dan menyukai berbagai macam games di ponsel pintar daripada buku-buku bacaan. Sedangkan para remaja dan bahkan orang dewasa lebih menyukai ‘membaca’ postingan-postingan di facebook, twitter, whatsap dan berbagai macam linimasa yang kian menjamur dalam ponsel pintar.

Aktivitas ‘membaca’ postingan di sos-med memang tidak sepenuhnya salah, karena sesuai dengan makna iqra’ bahwa manusia bisa membaca segala sesuatu selama ia bermanfaat. Masalahnya, banyak di antara pengguna ponsel pintar yang membaca postingan di media-sosial secara berlebihan. Padahal akan lebih bijak dan bermanfaat jika waktu yang dihabiskan untuk membaca postingan di media sosial digunakan untuk membaca buku-buku bergizi.

Kenyataan ini telah memberikan gambaran bahwa budaya baca di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Ramadhan (2013) yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki tingkat budaya baca rendah berdasarkan perbandingan jumlah judul buku baru yang ada di Indonesia dengan negara Vietnam. Dalam per-1 juta penduduk, Indonesia hanya memproduksi 35 judul buku baru. Sedangkan di Vietnam judul buku baru mencapai 187 judul per-1 juta penduduk. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa minat baca di Indonesia masih sangat rendah.

Maka perlu adanya strategi-strategi untuk membangun budaya baca dalam masyarakat Indonesia. Salah satu strategi membangun budaya membaca adalah pergi ke toko buku baik dalam keadaan perlu atau tidak, karena rasa suka membaca bisa dimulai dengan membaca judul buku. Judul setiap buku akan memberikan kesan tersendiri bagi setiap orang yang membacanya, sehingga bisa menarik seseorang untuk membaca.

Alternatif lain untuk membangun budaya membaca adalah menggunakan kemajuan tekhnologi secara bijak. Ponsel pintar yang menjadi kebutuhan setiap manusia di jaman digital ini telah memberikan kemudahan dalam mengakses informasi, salah satunya adalah kemudahan dalam mengakses Electronic Book atau buku elektronik yang tidak membutuhkan kertas.

Sehingga pengguna tidak perlu pergi ke toko buku untuk membaca atau membeli buku.
Jika kedua alternatif tersebut tidak mempan, maka tidak ada cara lain selain memaksa diri untuk membaca. Cara ini memang sedikit ’meanstream’ atau bahkan mungkin ’arogan’ bagi orang yang sama sekali tidak suka membaca. Tetapi pepatah lama mengatakan, ’bisa ala biasa’.

Aktivitas membaca yang awalnya dipaksa bisa menjadi kebiasaan dan kebiasaan membaca inilah yang kemudian melahirkan ide untuk menulis yang terwujud dalam sebuah karya. Dan inilah yang disebut dengan urgensi budaya baca.

Oleh: Muzayyinatul Haamidi
Pecinta Buku dan Mahasiswi S2 Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Islam Malang

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved