Opini

Transformasi Budaya Nilai Autis

AUTIS adalah gangguan perkembangan yang kompleks. Autis disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan

zoom-inlihat foto Transformasi Budaya Nilai Autis
TRIBUNSUMSEL.COM
Icon Tribunsumsel.com

TRIBUNSUMSEL.COM - AUTIS adalah gangguan perkembangan yang kompleks. Autis disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan fungsi otak, dan bukan suatu bentuk penyakit mental. Gangguan perkembangan fungsi otak yang meliputi gangguan kognitif (kemampuan), bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial.

Beberapa keluarga yang mempunyai anak autis mengalami shock ketika ada ”vonis” autis pada salah seorang keluarga mereka. Shock bukan karena tidak mau menerima takdir, namun karena ketakutan menghadapi semua hal yang tidak diinginkan. Seiring dengan hal tersebut, banyak pula lahir bayi-bayi yang autis, sehingga autisme menjadi sebuah fenomena.

Terjadinya budaya baru di Indonesia menunjukkan adanya transformasi nilai yang menuntut kepada sejumlah stakeholder untuk peduli terhadap anak autis yang digolongkan dalam bahasa negara yaitu disabilitas. Pemerintah Republik Indonesia sudah melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Produk kebijakan yang lahir dengan aturan perundang-undangan ini adalah penetapan tiga perguruan tinggi sebagai kampus inklusi yang diterjemahkan dalam Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) 2013. Ketiga perguruan tinggi itu adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Surabaya (UNS) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Sebelum lahirnya kampus inklusi memang sudah didahului oleh keberadaan sekolah-sekolah inklusi.

Transformasi budaya dari keluarga peduli autis, lahirnya sekolah-sekolah inklusi, hingga terwujudnya kampus inklusi, ternyata adalah pelajaran berharga dari fenomena autisme. Anak autis mengajarkan kejujuran, bersahaja, dan apa adanya di tengah anggapan negatif terhadap keluarga anak autis. Anak autis menyingkap sekat panggung sandiwara (setting stage), kepura-puraan dalam penampilan (appearance), dan tingkah laku yang pencitraan (manner). Anak autis dengan tegas tampil apa adanya, bukan rekayasa dan tidak ada pengaturan di balik layar. Naluri manusia, sesungguhnya tampil pada manusia-manusia autis.

Anak autis selalu menampilkan diri mereka apa adanya. Beberapa anak autis yang terdidik ternyata mampu melakukan hal yang biasa dilakukan oleh anak non autis dan mempunyai rasa sensitif yang tinggi. Presentasi diri keluarga anak autis tidak terlepas dari perilaku yang mereka tunjukkan kepada anak autis selama dirumah, baik itu dalam bentuk ekstra perhatian, perhatian, dan kurang perhatian, yang merupakan wujud dari sikap penerimaan keluarga terhadap kehadiran anak autis. Pengelolaan kesan yang dilakukan oleh keluarga autis juga merupakan bentuk presentasi diri mereka di hadapan khalayak, baik di lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan kerja.

Temuan penelitian fenomenologi terhadap beberapa keluarga anak autisme di Jakarta, ternyata menampilkan implikasi sosial yaitu lahirnya sebuah komunitas peduli autisme. Sebuah kepedulian yang lahir akibat penderitaan sosial, sehingga keluarga dengan sangat “terpaksa” melakukan perlawanan sosial pula. Perlawanan sosial itu adalah keluarga yang juga sekaligus sebagai aktivis peduli autisme. Aktivis adalah “anak kandung” fenomena sosial, yang mana belum ada nomenklatur yang mengatur tentang perlindungan budaya dan sosial terhadap anak-anak autis.

Ada tiga modal yang melahirkan model presentasi diri keluarga anak autis. Modal arus simpatik, modal budaya empati, dan modal dukungan isu media, yang saling berkaitan untuk mengantarkan keluarga menjadi aktivis peduli anak autis. Skala aktivitas tentu beragam. Mulai dari ketelatenan merawat anak autis, mengatur pola makan dan asupan makanan, membelai dengan kasih sayang, mengantarkan ke tempat terapi, mengantar ke sekolah, tempat bermain, dan sebagainya. Semuanya itu adalah pekerjaan sang aktivis.

Tiga modal itu adalah akumulasi perjuangan keluarga anak autis, hingga “memaksa” pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memperhatikan para anak autis. Puncak presentasi diri keluarga anak autis adalah ketika mereka bisa tampil di layar kaca, yang menyulut emosi pemirsa tentang “dahsyat”nya prestasi anak-anak autis. Sebuah budaya baru yang lahir di negeri Republik Indonesia, yaitu anak autis bukanlah anak cacat.

Presentasi diri keluarga anak autis, tidak terlepas dari dukungan keluarga besar anak autis, dukungan lingkungan, yang disebut dengan arus simpatik dan budaya empatik yang didapatkan oleh keluarga anak autis dari berbagai kalangan, baik di lingkungan rumah, sekolah anak autis, dan lingkungan kerja orang tua anak autis, karena menurut Goffman (Mulyana, 2001), pada dasarnya individu tidak hanya sekedar mengambil peran orang lain, melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapi citra diri tersebut.

Sebagaimana “diri” menurut Goffman yang bersifat temporer, dalam arti berjangka pendek, maka ketika memainkan suatu peran, “diri” tersebut dituntut oleh peran-peran sosial yang berlainan yang interaksinya dengan masyarakat berlangsung dalam episode-episode pendek. Selain itu dukungan media juga menjadi salah satu kekuatan keluarga anak autis dalam mempresentasikan diri mereka sebagai keluarga yang memiliki anak autis, terutama ketika peringatan hari autisme sedunia pada tanggal 2 April 2013 yang menyerukan “stop menjadikan autis sebagai candaan”, dan banyaknya kegiatan-kegiatan yang mendukung kreatifitas anak autis.

Sesungguhnya, anak autis di ruang publik tidak ada perbedaan dengan manusia lainnya, namun karena rongrongan budaya yang melingkupinya, menyebabkan terjadi perbedaan dengan manusia lainnya. Apabila dilihat dari sudut pandang agama (Islam), anak autis adalah ciptaan Allah SWT, yang bisa saja derajat mereka lebih tinggi dari yang lainnya.

Firman Allah SWT dalam Alquran pada Surah Al-Hujuratayat 13: ““Wahaimanusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha teliti”

Ditulis oleh: Dr Yopi Kusmiati SSosI MSi
(Peneliti Keluarga Anak Autis)

Tags
Opini
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved