Opini

Fenomena “Gila” Batu dan Geliat Ekonomi Masyarakat

Booming batu akik yang melanda Indonesia setahun terakhir, benar-benar telah membuat sebagian besar masyarakat Indonesia

KOMPAS.com/Suddin Syamsuddin
Setelah sisik naga corak emas, para penggila batu akik jenis sisik naga (Septarian Noudles) di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, kedatangan sisik naga berwarna dasar hijau dan bercorak alam. 

TRIBUNSUMSEL.COM - Booming batu akik yang melanda Indonesia setahun terakhir, benar-benar telah membuat sebagian besar masyarakat Indonesia utamanya kaum pria menjadi penggila batu akik. Tidak diketahui asal muasalnya kapan dan bagaimana persisnya tiba-tiba batu akik menjadi sangat sering dibicarakan orang dimana-mana, dari gubuk reot hingga gedung bertingkat, dari rakyat hingga pejabat semua menyatu dalam satu tema pembicaraan. Batu akik.

Jika selama ini batu akik atau cincin identik dengan orang dewasa maka saat ini dari kalangan remaja, pelajar, mahasiswa hingga pelajar SD sudah sangat familiar dengan berbagai jenis batu akik, bahkan memakai batu akik sudah menjadi tren dan gaya hidup.

Tak ingin ketinggalan media sosial seperti facebook, twiter, BBM ikut ramai menulis tentang batu akik. Maka tak heran jika banyak tulisan-tulisan bernada humor menghiasi ruang media sosial tersebut seperti “ Jika suami atau pacarmu gak pulang, gak usah khawatir, cari aja di tukang gosok batu, atau jika batu nisan ayahmu hilang, pasti sudah ada di tukang gosok batu”

Berbeda dengan hobi-hobi lain, misalnya hobi memelihara burung, kucing, atau tanaman hias yang hanya disukai segelintir orang, maka hobi batu akik adalah milik semua lapisan, karena mudah dan praktis, tak perlu biaya perawatan, dan juga tidak perlu ada tempat khusus. Jadi sangat praktis.

Ada beberapa alasan orang memakai batu akik. Pertama, karena hobi. Indonesia yang terkenal dengan kekayaan alam ternyata mempunyai jenis batuan yang mempunyai bentuk dan warna yang sangat melimpah, keunikan dan aneka warna bebatuan inilah yang membuat daya tarik dikalangan sebagian kolektor batu akik.

Sebut misalnya batu Bacan dari kepulauan Maluku yang pernah dihargai hingga satu miliar karena bentuk dan kebeningannya yang sempurna, batu Kalimaya dari Banten, berbagai bebatuan dari Kalimantan Selatan dan berbagai daerah di Indonesia dari sabang hingga Marauke.

Kedua, Ikut tren. Karena sekarang zamannya batu akik, jadi memakai cincin menjadi tren di masyarakat, orang yang selama ini tak pernah tertarik apalagi memakai cincin maka karena tren ikut-ikutan memakai, bahkan tak sedikit yang tertipu oleh banyaknya batu-batu palsu (sentetis) yang dibuat oleh orang-orang yang memanfaatkan tren batu ini.

Ketiga, bagi sebagian orang memakai batu akik tertentu katanya dapat menenangkan fikiran, memancarkan aura, membawa keberuntungan, istilah mereka ngalap berkah dari kesaktian sebuah batu. Hal ini perlu diwaspadai mengingat batu adalah benda mati yang tentu tak dapat mendatangkan apa-apa, toh batu adalah batu dan hanya sebagai hiasan. Keempat, Tentu saja membawa keuntungan bagi penjual batu, dan penjual gagang/ikat batu tersebut.
Di Sumatera Selatan sendiri terdapat Jenis-jenis batu akik. Seperti di kabupaten Lahat terdapat jenis batu Pancawarna, di kabupaten Muratara ada jenis Susike, Teratai, Tawon, dan Bulu Ayam, dan yang paling terkenal adalah batu akik dari Batu Raja seperti Lavender, Spritus karena berwarna biru seperti spritus, batu Sulaiman, Tapak Jalak, batu Teratai, Cempaka dan masih banyak macam dan jenisnya. Konon kabarnya batu lavender yang pernah memenangkan kontes batu sudah ditawar hingga 175 juta. Fantastis!

Geliat Ekonomi Masyarakat
Tren batu akik saat ini tentu saja berpengaruh besar terhadap ekonomi masyarakat. Ekonomi kreatif ini berhasil menjadi pembangkit ekonomi rakyat ditengah gonjang ganjing naik dan turunnya harga BBM beberapa bulan lalu. Kerajinan batu akik membuka lapangan kerja baru dan berhasil meraup limpahan rupiah.

Pelaku ekonomi yang menikmati limpahan rezeki usaha kreatif ini bukan hanya pengrajin (pengasah batu) saja, tapi juga berdampak pada pengrajin logam, perak, suasa, penjual logam mulia, penjual mesin pengasah batu, dan tentu saja para pencari batu di sungai bahkan sampai ke dalam hutan.

Banyaknya pemesan batu mentah yang berasal dari alam Indonesia ini menyebabkan harga bebatuan tersebut berharga tidak murah, dari kiloan, dijual perkarung bahkan per truk yang bisa dihargai hingga 30 juta per truknya. Masyarakat yang selama ini bekerja sebagai petani, peternak, tukang ojek, penarik becak banyak yang banting stir menjadi pengasah batu, karena penghasilanya lumayan besar.

Menurut beberapa orang pengasah batu, seorang pengasah batu bisa mendapatkan uang tiga ratus, lima ratus hingga satu juta per hari, dan yang lebih membuat ekonomi dibidang ini menjadi lebih ngetrend karena ikut andilnya pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok pencinta batu ini dalam mengadakan kontes-kontes batu akik yang tentu saja sangat berdampak positif untuk menaikkan nilai tawar dari bebatuan tersebut.

Peluang bisnis ini juga tak dilewatkan oleh penjual makanan anak-anak seperti jenis chiki, pilus dan snack- snack yang memberi hadiah cincin-cincin plastik warna-warni yang dibuat mirip-mirip dengan aslinya, sehingga anak-anak usia sekolah dasar juga mulai saling pamer cincin antar sesama mereka.

Pertanyaannya adalah, akan seberapa lama hobi memakai, mengoleksi batu akik ini akan bertahan? Apakah nasibnya akan sama dengan jenis tanaman Anturium, Aglonema, Gelombang Cinta dan jenis-jenis tanaman yang tiga empat tahun lalu pernah dihargai hingga seratus ribu per dauannya? Karena sejatinya hobi itu mempunyai waktu dan masanya masing-masing, maka jika satu hobi sudah mulai memudar maka semuanya akan menjadi seakan tak punya arti lagi. Kecuali para pencinta sejati.

Oleh:: Karman, M.Pd.
Guru MA Raudhatun Nasihin Aremantai, Kecamatan Semende Darat Ulu Kab Muara Enim

Tags
Opini
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved