Kisah Anak Indigo Palembang
EKSKLUSIF: Jangan Samakan Anak Indigo dengan Anak Lain
Coba dibayangkan, anak normal masuk sekolah negeri, sedangkan anak tidak normal masuk sekolah luar biasa.
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Anak-anak indigo mendapat cacian dan kekerasan di sekolah akibat sistem pendidikan di Indonesia belum mampu menghadirkan kelas “miniatur dunia”. Kelas yang isinya terdiri dari anak pintar, tidak pintar, sedang, normal, tidak normal.
Pemerhati Pendidikan Sumsel, Prof Jalaluddin, mengatakan, mewujudkan kelas seperti itu akan mengajarkan anak-anak saling berempati. Mereka yang pintar akan menghargai yang bodoh dan anak normal akan mengayomi yang tidak normal. Negara maju sudah lama menganut sistem yang dinamakan pendidikan inklusif ini.
“Coba dibayangkan, anak normal masuk sekolah negeri, sedangkan anak tidak normal masuk sekolah luar biasa. Apabila mereka bertemu di jalan maka yang muncul saling ejek,” ujarnya, Minggu (26/10).
Akademisi dari Universita Islam Negeri (UIN) Raden Fatah ini mengakui, praktik sistem pendidikan di Indonesia tidak sesuai dengan hakikat yang terdapat pada Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan di Indonesia belum mampu menghadirkan kelas menyerupai miniatur dunia. Semua seragam, padahal masing-masing anak punya target berbeda.
“Sebenarnya sudah sering dilakukan diklat pendidikan inklusif, tetapi memang kebijakannya masih kurang. Anak indigo itu kan bisa dikategorikan anak yang tidak normal, memiliki kemampuan melebihi anak lain. Tidak bisa disamakan dengan anak lain,” jelas Jalaluddin.
Sekolah di Indonesia sebut Jalaluddin, dibuat seperti pabrik. Sebuah proses yang berjalan diharapkan sama, padahal itu tidak mungkin. Sebab setiap orang itu memiliki talenta dan kesukaan yang berbeda.
“Apa yang dialami anak indigo harusnya menjadi suatu pelajaran di dinas pendidikan. Kondisi ini seharusnya mendorong diwujudkannya pendidikan inklusif. Harus jujur, kemampuan guru tidak memadai menangani pendidikan inklusif,” tambahnya.
Tidak adanya kompetensi guru di Indonesia muncul karena kebiasaan selama ini yang hanya memberikan pendidikan ke anak normal. Akibatnya mereka tidak mampu ketika menghadapi anak didik tidak normal.
Agar pendidikan inklusif bisa berjalan, harus disiapkan semuanya. Mulai dari guru, kebijakan, dan komitmen semua pihak.
“Sebuah fenomena hari ini. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. menciptakan sistem pendidikan untuk semua anak bangsa yang membuat cerdas sikap, cerdas pengetahuan, dan cerdas keterampilan,” katanya.
Indigo adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural.
Seorang anak mengaku kepada Tribun Sumsel, bahwa gara-gara ketidakmampuan mengendalikan kelebihan mengakibatkan dirinya dicemooh teman di SMP, dikatakan gila, dipukul, dan jilbabnya ditarik sampai lepas.
“Saya waktu itu pernah melihat ada anak-anak mahluk itu (gaib) turun tangga, lalu meminta teman-teman minggir agar tidak ditabrak. Mereka tidak percaya, mengatakan bohong, bahkan guru juga meminta tidak lagi membicarakannya,” ujar gadis itu.
Hampir semua temannya tidak percaya lagi, makanya banyak waktu di luar jam pelajaran digunakan untuk mengunjungi perpustakaan. Menghindari ejekan dan pertentangan pendapat dengan temannya.
Setamatnya dari sekolah itu, ia belum melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya. Ia dan orangtuanya khawatir kejadian menyakitkan itu bakal terulang di tempat pendidikan yang baru. (wan)