Warga Desa Sumsel Alami Paceklik
Warga Desa di Sumsel Dihantam Paceklik
Tanaman kopi hampir tak ada buah, begitu juga durian dan duku. Sementara harga jual karet anjlok. Mau tumpang sari menanam sayuran terkendala kemarau.
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Tanaman kopi hampir tak ada buah, begitu juga durian dan duku. Sementara harga jual karet anjlok. Mau tumpang sari menanam sayuran terkendala kemarau. Kebun sawit terbakar. Akibatnya, warga pedesaan di Sumsel mengalami paceklik. Pemerintah daerah diminta memberikan stimulus.
"Kami mengerti kondisi mereka. Di petani karet dibeli Rp 5.000. Sehari dapat 10 kilo, berarti hanya Rp 50 ribu, itu pun harus bayar kerja sama dengan pemilik kebun. Mana bisa hidup mereka," kata Ketua Gabungan Petani Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel, Alex Kurniawan Eddy, Jumat (10/10). Menurut dia, 33 persen penduduk Sumsel berpenghasilan dari komoditi karet kena imbas.
Harga karet anjlok akibat pasar internasional over suplai. Salah satu penyebabnya, kata Alex, keberadaan negara-negara baru penghasil karet seperti Myanmar, Laos, dan sebagian negara di Afrika.
"Karet membanjiri pasar. Seluruhnya kena, tidak hanya Indonesia, tapi juga Thailand, Malaysia, dan lainnya. Harga terpuruk ini dipengaruhi pasar internasional. Sekarang kami sedang ada pertemuan di Malaka merangkul pengusaha negara penghasil agar jangan jual murah. Bertahap kita naikkan," kata Alex.
Alex kaget ketika Tribun mengabarkan ratusan petani karet di Kelurahan Sindur Kecamatan Cambai Kota Prabumulih, sejak sebulan terakhir alih profesi menjadi penambang pasir di Sungai Kelekar. Dia terdiam sejenak, lalu berkata,
"Harga karet memang hancur, saya sering dengar petani kita kesulitan."