Swara Irma

Mandy Masak Mie Celor

ANAKKU yang sulung menelponku jam satu malam ‘ Mama, aku baru pulang siaran dan kelaparan, mau masak, belum punya gas, gimana caranya masak Mie Celor

zoom-inlihat foto Mandy Masak Mie Celor
DOKUMENTASI TRIBUN
Swara Irma Hutabarat

ANAKKU yang sulung menelponku jam satu malam ‘ Mama, aku baru pulang siaran dan kelaparan, mau masak, belum punya gas, gimana caranya masak Mie Celor pakai Rice Cooker?’

Beberapa malam sebelumnya aku baru menginap di apartemennya yang mungil di daerah Kuningan. Mandy memilih untuk hidup sendiri dan mencari tempat tinggal yang dekat dengan kantornya, Berita Satu.

Ketika bermalam di studionya aku memasak Mie Celor untuknya, aku menyebutnya studio karena hanya ada satu kamar dan ruang tamu dengan dapur mungil.

Aku memberikan satu box Mie Celor pada saat bertandang ke Studionya, kiriman rutin dari Palembang, dari sobatku Ijul Mukti, bersama empek empek yang tak pernah absen dari keseharian kami di Jakarta.

Anak-anakku semua berlidah Sumatera, mereka akrab dengan semua kuliner Palembang nan lezat itu. Salah satunya adalah Mie celor. Dapur anakku masih kosong, ia baru saja membeli rice cooker, aku menurunkan sedikit ilmu memasak secara darurat, bahwa rice cooker dapat dipakai untuk memasak sup, dengan menyemplungkan semua bahan yang ada, kentang, wortel, sosis, jagung dipipil maupun sayuran apapun yang ada di kulkas, tambahkan garam, lada dan seledri. Sim salabim!! Menjelma sup lezat.

Memasak mie juga demikian, masukkan air, mie, bumbu, tunggu sekejab, jadi hidangan cepat tanpa harus jajan. Instruksi untuk memasak kulakukan melalui telepon, maklum anakku ini belum tahu cara memasak macam-macam.

Aku membayangkan, biasanya di rumah kami di Kemang, ia hanya buka mulut saja. ‘Ma, lapar’, lalu makanan akan terhidang, aku bisa memasak apa saja dalam waktu cepat, dengan bahan seadanya di lemari es.

Terharu juga karena ia sekarang melakukan segala sesuatu serba sendiri. Seringkali karena telat makan Mbak Mandy maag dan jatuh sakit, terakhir dia dirawat di RS Pertamina.

Ia meneleponku dari Unit Gawat Darurat, usai meliput KTT non Blok di Bali, dia tumbang karena terlalu lelah dan kurang istirahat. Hebatnya ia menikmati penderitaannya dan bangga bahwa dia mampu membayar ongkos Rumah Sakit sendiri. Ditanggung oleh kantor, Ma!

Memang ia memintaku datang, untuk menenangkan dan menemaninya, tetapi tak lama, karena ia tak ingin aku cemas dan mulai menasehati macam macam soal kesehatan.

Mungkin sejak dirawat itu Mandy lebih memperhatikan pola makan dan istirahatnya. Pekerjaannya sebagai Jurnalis dan presenter TV, sungguh menguras pikiran dan raga.

Apabila tak pandai menjaga kesehatan, sudah pasti mudah terserang nyeri lambung, yang konon adalah penyakit langganan para Jurnalis yang memang sering lupa makan.

Pilihan atas profesi tentu mempengaruhi pola hidup seseorang. Anakku memilih untuk menjadi Jurnalis dan presenter TV, karena ia menyukai pekerjaan itu.
Sejak SMA ia sering ditawari untuk menjadi pemain sinetron, bahkan film layar lebar.

Raam Punjabi, seorang teman lama sejak aku masih bekerja di J Walter Thompson, selalu membujuk Mandy untuk mencoba, wajahnya bisa dijual kata Raam, dan ia kenal aku, Ibunya, pasti akan dijaga dan diberi peran yang baik.

‘I will make you a Star in no time! All you need to do is come to my office and we’ll talk’ , demikian Raam selalu mencoba meyakinkan Mandy bahwa peluang untuk menjadi terkenal dan punya banyak uang membentang di depannya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved