Berita Musi Rawas

Kisah Sriyono, Veteran Asal Yogyakarta Kini Bertahan Hidup Jualan Keripik Keliling di Musi Rawas

Sriyono, pria yang kini berusia 110 tahun asal Yogyakarta, salah satu pejuang veteran kini berjualan keripik keliling di Musi Rawas,

Penulis: Eko Mustiawan | Editor: Shinta Dwi Anggraini
SRIPOKU/EKO MUSTIAWAN
KISAH VETERAN PERANG -- Sriyono, veteran asal Yogyakarta saat berjualan keripik keliling di OPD di Musi Rawas, Selasa (30/9/2025). 

TRIBUNSUMSEL.COM, MUSI RAWAS -- Sriyono, pria yang kini berusia 110 tahun asal Yogyakarta, merupakan salah satu pejuang veteran yang ikut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. 

Di usianya yang tak lagi muda, tak membuat warga Desa Kampung 1 Desa Air Satan Kecamatan Muara Beliti Kabupaten Musi Rawas, Sumsel itu tak mau berdiam diri di rumah.

Dengan sepeda tua yang dibawanya dari tempat kelahiran, Sriyono masih gagah mengayuh sepeda untuk bertahan hidup dengan menjadi penjual keripik keliling.

Biasanya, Sriyono menjajakan kripik jualannya dengan berkeliling desa dan terkadang juga ke Kompleks Perkantoran Agropolitan Center di Muara Beliti. 

Kepada Sripoku.com, Sriyono mengaku kini dirinya telah berusia 110 tahun yang kini menetap sebagai warga RT.01 Desa Air Satan Kecamatan Muara Beliti, Musi Rawas.

Baca juga: Harga Cabai Merah Keriting Hari ini di Musi Rawas Naik, Ada yang Jual Rp 65 Ribu per Kg

Kini, pria kelahiran Yogyakarta itu, tinggal seorang diri setelah ditinggal istrinya meninggal dunia dan kedua anaknya menikah. 

Meski usianya yang sudah lanjut, namun Sriyono tak mau mengantungkan hidupnya dari orang lain. 

Dia memilih berjualan keripik, opak dan lainnya keliling yang diambilnya dari orang lain. Meskipun hasilnya tak seberapa.

"Sehari-hari jual keripik, kadang juga opak, pisang dan mangga kalau ada. Untuk kripik ini dijual Rp5.000 untuk 1 bungkusnya, ngambilnya Rp4.000 jadi dapatnya Rp1.000 per bungkusnya," katanya. 

Sriyono juga mengaku, dulu sewaktu usianya masih muda, dia pernah perang melawan tentara Jepang di Provinsi Jawa Timur.

"Dulu pernah ikut perang melawan Jepang. Perangnya dulu di Jawa Timur, tapi lupa tahunnya berapa,"  ucapnya.

Perang melawan tentara Jepang berlangsung kurang lebih selama 1 tahun.

Dia dikirim bersama rekannya sebanyak 7 kompi. Saat itu, dia dan rekan-rekannya hanya bermodalkan bambu runcing untuk berperang. 

"Perangnya di hutan, cuman paka bambu runcing. Setelah perang hampir 1 tahun, saya pulang ke Yogyakarta," ucapnya. 

Usai perang tersebut, dia dan istrinya memutuskan untuk merantau ke Pulang Sumatera, dengan tujuannya ke Provinsi Bengkulu.

Tak hanya dirinya dan istri, namun 10 orang rekannya semasa perang juga ikut pergi ke Provinsi Bengkulu. 

"Pertama masuk ke Pulau Sumatera itu sebelum serangan G30/SPKI, lupa tahun berapa. Pertama ke Bengkulu, saat itu bersama istri," ungkapnya.

Kemudian sekitar tahun 1965, dia dan istrinya pun datang ke Kabupaten Musi Rawas hingga akhirnya menetapkan di Desa Air Satan Kecamatan Muara Beliti, Musi Rawas. 

"Dulu banyak rombongan ke Bengkulu, sekitar 10 orang, tapi banyak yang tersangkut di gerakan G30/SPKI. Istri saya juga meninggalnya di Desa Air Satan," tutupnya. 

 

 

Baca berita menarik lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved