Mata Lokal Desa

Tradisi Suku Semende Diangkat dalam Film Dokumenter Mother Earth: Tunggu Tubang tak akan Tumbang

Kami ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal, seperti tradisi Tunggu Tubang bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga strategi ketahanan pangan

|
Editor: Lisma Noviani
istimewa/Yuni Rahma
TRADISI SEMENDE -- Poster film dokumenter berjudul Mother Earth: Tunggu Tubang tak akan Tumbang, mengangkat tradisi Suku Semende Muaraenim Sumatera Selatan dalam menjaga tradisi ketahanan pangan berkelanjutan. 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG – Film dokumenter Mother Earth: Tunggu Tubang tak Akan Tumbang karya Gomhpok Kolektif yang mengangkat tradisi Suku Semende Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumsel, resmi tayang perdana pada 15 September 2025.

Pemutaran film karya Wong Sumsel ini bertepatan dalam acara Diseminasi Film di UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang.

Film ini didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Dana Indonesia, sebagai bagian dari upaya memperkuat riset, seni, dan kebudayaan melalui medium film.

Film ini mengangkat tradisi Tunggu Tubang dari masyarakat adat Semende, Kabupaten Muara enim Provinsi Sumatera Selatan.

Tradisi Tunggu Tubang adalah sistem adat masyarakat Suku Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, yang menempatkan anak perempuan tertua dalam keluarga sebagai penjaha, pemegang dan pengelola harta pusaka leluhur, seperti rumah, sawah, dan kebun. 

Tradisi ini bertujuan untuk menjaga kelestarian harta warisan, memastikan keseimbangan sosial dan ekonomi keluarga besar, serta melestarikan lanskap dan kedaulatan pangan masyarakat adat. Simbol ketahanan pangan berkelanjutan.

 Lewat narasi visual yang kuat, film menyoroti bagaimana kearifan lokal Semende menjaga hubungan manusia dengan alam sekaligus menjawab tantangan modernisasi.

Perwakilan Ghompok Kolektif, Ahmad Rizky Prabu, menjelaskan film ini digarap selama kurang lebih setahun sejak Desember 2024 oleh hampir 20 kru.

“Kami ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal, seperti tradisi Tunggu Tubang, bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga strategi ketahanan pangan dan keberlanjutan hidup yang relevan hingga hari ini,” ujarnya.

Sutradara Mother Earth, Muhammad Tohir, menegaskan bahwa film ini berangkat dari cerita Tunggu Tubang yang menjadi bagian penting dalam sistem adat masyarakat Semende.

“Sistem ini sudah berjalan selama ratusan tahun, namun masih relevan dengan kondisi hari ini. Dan sangat mungkin menjadi jawaban atas kekhawatiran masyarakat global akan krisis pangan di masa depan,” kata Tohir.

Ia menjelaskan, film ini digarap dengan pendekatan dokumenter non-naratif yang memvisualisasikan fakta dan data tentang kisah-kisah di Semende.

“Kami berharap film ini bisa menjadi benchmark baru dalam dunia sineas Palembang. Saya sangat bersyukur melihat antusiasme penonton yang menyambut film ini dengan positif. Terima kasih kepada kawan-kawan yang terlibat dalam penciptaan film Mother Earth dan buku foto Badah Puyang. Terutama kepada keluarga baru kami, masyarakat Semende, yang selama satu tahun ini kami repotkan,” tambahnya.

Acara diseminasi turut dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto yang diwakili Kepala Seksi Nilai Budaya dan Bahasa Daerah, Dian Permata Suri; serta Pamong Budaya Ahli Pertama BPK, Dedi Afrianto. Kegiatan ini berkolaborasi dengan UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang.

Dian Permata Suri menyampaikan bahwa film ini menjadi bagian penting dalam upaya pelestarian tradisi Tunggu Tubang yang saat ini tengah diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved