Makanan MBG Sering Terbuang
Pengamat Unsri, DR MH Thamrin Sebut Makan Gratis Kini Hadapi Ujian Publik -2
Di banyak daerah, program ini disambut dengan suka cita, bahkan menjadi simbol komitmen negara terhadap masa depan generasi muda.
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Slamet Teguh
Brasil juga menghadapi tuduhan korupsi dalam Programa Nacional de Alimentação Escolar. Pemerintah tidak mematikan program, melainkan membentuk dewan pengawas independen dan melibatkan masyarakat sipil.
Hasilnya, legitimasi program justru meningkat (Sidaner, Balaban, & Burlandy, 2013). Dua contoh itu menegaskan bahwa masalah tidak selalu berarti kegagalan, melainkan peluang untuk memperkuat program.
Baca juga: LIPSUS: Makanan Program MBG Sering Terbuang Sia-sia, Orang Tua Ungkap Nasi Keras, Aroma Lauk Basi -1
Baca juga: Daftar 6 SPPG yang Telah Beroperasi di Empat Lawang, Pemkab Siap Ikut Mengawal Program MBG
Apa yang Dapat Kita Lakukan?
Ada dua pilihan. Pertama, penghentian total agar investigasi berjalan tanpa risiko baru. Namun konsekuensinya, anak-anak kehilangan manfaat gizi, dan restart program bisa lebih berat.
Kedua, opsi yang lebih moderat: menghentikan dapur atau vendor bermasalah, sambil memperketat pengawasan di titik yang masih layak. Opsi ini lebih sejalan dengan policy learning: keselamatan anak tetap prioritas, sementara manfaat program tidak terhenti sepenuhnya.
Untuk itu, beberapa langkah kunci perlu ditempuh: audit independen terhadap seluruh rantai produksi dan distribusi; sertifikasi higienitas dapur MBG; inspeksi mendadak dengan uji sampel acak; serta keterbukaan hasil audit kepada publik. Transparansi bukan sekadar teknis, tetapi fondasi untuk membangun kembali kepercayaan.
Di titik inilah peran komunikasi kebijakan menjadi sangat penting. Publik saat ini melihat MBG dari kasus viral nasi berbelatung, bukan dari tujuan mulianya. Jika pemerintah hanya reaktif setelah masalah muncul, kepercayaan akan semakin terkikis.
Yang dibutuhkan adalah komunikasi proaktif: publikasi rutin soal menu dan kualitas, pelibatan pihak independen sebagai pengawas, serta penyampaian terbuka hasil audit.
Dengan begitu, narasi publik bergeser dari “program bermasalah” menjadi “program yang sedang berbenah.”
Di sinilah ilmu komunikasi bertemu dengan kebijakan publik: membangun legitimasi bukan hanya lewat kebijakan yang benar, tapi juga komunikasi yang jujur dan konsisten.
Dalam kaitan dengan Sumsel, walau kasusnya muncul di Sumsel, dampaknya berskala nasional. Daerah lain melaporkan persoalan serupa, dari kualitas menu hingga logistik distribusi.
Karena itu, Sumsel bisa menjadi cermin sekaligus titik balik: apakah MBG akan dianggap gagal, atau justru menjadi contoh bagaimana sebuah kebijakan diperbaiki.
Jika Sumsel mampu menunjukkan perbaikan serius, maka kepercayaan pada MBG secara nasional bisa ikut terangkat. Dengan kata lain, Sumsel bukan sekadar lokasi masalah, tetapi bisa menjadi laboratorium kebijakan.
Pada akhirnya, MBG sedang menghadapi ujian publik: apakah pemerintah berani belajar dari kesalahan atau justru menyerah pada tekanan. Program ini tidak boleh dibiarkan runtuh hanya karena kelemahan awal, tetapi harus diperkuat melalui koreksi, transparansi, dan akuntabilitas.
Dari Sumatera Selatan, kita bisa menunjukkan bahwa sebuah kebijakan mulia tidak berhenti pada masalah, melainkan tumbuh lebih kuat karena berani belajar.
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.